Usul Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai pengadopsian protokol penodaan agama dianggap akan mendorong kekerasan berbasis agama.
Lembaga Hak Asasi Manusia Human Rights Working Group (HRWG) mengecam usulan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai protokol terkait penodaan agama, dengan mengatakan hal itu akan mendorong kekerasan berbasis agama.
Pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-67 di New York Selasa (25/9), Presiden Yudhoyono mengusulkan adanya pengadopsian protokol yang melarang penodaan agama (anti-blasphemy protocol) oleh komunitas internasional.
Manajer Program HRWG, Ali Akbar Tanjung, kepada VOA mengatakan bahwa alih-alih meredakan gejolak kekerasan berbasis keagamaan, aturan tersebut akan mengintrodusir kekerasan berbasis agama, khususnya kepada kelompok minoritas.
Menurut Ali, Presiden Yudhoyono seharusnya justru mengingatkan untuk memperkuat resolusi Dewan Hak Asasi Manusia yang diadopsi pada 18 Maret 2011 untuk memerangi intoleransi dan menghapus kekerasan kelompok berdasarkan agama dan stigmatisasi. Apalagi resolusi tersebut, kata Ali, merupakan salah satu sumbangsih Kementerian Luar Negeri Indonesia bersama Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
Lebih lanjut, Ali mengatakan usulan Presiden mengingkari fakta yang ada di Indonesia, dengan adanya kekerasan berbasis agama di Indonesia akibat penerapan Undang-undang Penodaan Agama (PNPS No.1/1965). Bahkan Mahkamah Konstitusi juga telah menyatakan aturan tersebut harus direvisi karena banyak mengandung masalah, ujar Ali.
“Kami dari masyarakat sipil sebenarnya sangat menyayangkan usulan ini. Di Indonesia sendiri undang-undang yang berkaitan dengan penodaan agama kerap dijadikan legitimasi bagi kelompok ekstremis untuk melakukan kekerasan, khususnya terhadap kelompok-kelompok minoritas agama seperti Ahmadiyah dan Syiah, yang dua tahun belakangan ini eskalasinya sangat tinggi,” ujar Ali.
Sementara itu, Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan apa yang diusulkan Presiden SBY mewakili umat beragama termasuk non-Muslim.
Ia juga menyatakan Undang-undang Penodaan agama di Indonesia masih sangat diperlukan sebelum adanya Undang-undang yang baru. Jika PNPS No.1 tahun 1965 dicabut sebelum adanya UU yang baru maka akan bisa fatal akibatnya, menurut Nasaruddin.
Ia membantah kekerasan atas nama agama yang tejadi di Indonesia yang dilakukan kelompok tertentu disebabkan karena adanya undang-undang tersebut.
“Terlalu naïf menurut saya kalau [menganggap] masyarakat yang akar rumput melakukan sesuatu karena undang-undang. Undang-undang PNPS ini jangan selalu dijadkan kambing hitam karena bagaimanapun itu undang-undang yang sah atas nama hukum, atas nama negara,” ujar Nasaruddin.
Ketua Yayasan Studi Agama dan Filsafat Dawan Raharjo mengatakan pemerintah tidak boleh mengontrol kebebasan beragama melalui peraturan yang ada.
“[Pemerintah harus] melindungi kebebasan beragama agar agama ini berkembang dengan subur dan baik. Jadi jangan dihalang-halangi. Negara tidak boleh mengontrol tetapi memfasilitasi kehidupan beragama,” ujar Dawam.
Pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-67 di New York Selasa (25/9), Presiden Yudhoyono mengusulkan adanya pengadopsian protokol yang melarang penodaan agama (anti-blasphemy protocol) oleh komunitas internasional.
Manajer Program HRWG, Ali Akbar Tanjung, kepada VOA mengatakan bahwa alih-alih meredakan gejolak kekerasan berbasis keagamaan, aturan tersebut akan mengintrodusir kekerasan berbasis agama, khususnya kepada kelompok minoritas.
Menurut Ali, Presiden Yudhoyono seharusnya justru mengingatkan untuk memperkuat resolusi Dewan Hak Asasi Manusia yang diadopsi pada 18 Maret 2011 untuk memerangi intoleransi dan menghapus kekerasan kelompok berdasarkan agama dan stigmatisasi. Apalagi resolusi tersebut, kata Ali, merupakan salah satu sumbangsih Kementerian Luar Negeri Indonesia bersama Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
Lebih lanjut, Ali mengatakan usulan Presiden mengingkari fakta yang ada di Indonesia, dengan adanya kekerasan berbasis agama di Indonesia akibat penerapan Undang-undang Penodaan Agama (PNPS No.1/1965). Bahkan Mahkamah Konstitusi juga telah menyatakan aturan tersebut harus direvisi karena banyak mengandung masalah, ujar Ali.
“Kami dari masyarakat sipil sebenarnya sangat menyayangkan usulan ini. Di Indonesia sendiri undang-undang yang berkaitan dengan penodaan agama kerap dijadikan legitimasi bagi kelompok ekstremis untuk melakukan kekerasan, khususnya terhadap kelompok-kelompok minoritas agama seperti Ahmadiyah dan Syiah, yang dua tahun belakangan ini eskalasinya sangat tinggi,” ujar Ali.
Sementara itu, Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan apa yang diusulkan Presiden SBY mewakili umat beragama termasuk non-Muslim.
Ia juga menyatakan Undang-undang Penodaan agama di Indonesia masih sangat diperlukan sebelum adanya Undang-undang yang baru. Jika PNPS No.1 tahun 1965 dicabut sebelum adanya UU yang baru maka akan bisa fatal akibatnya, menurut Nasaruddin.
Ia membantah kekerasan atas nama agama yang tejadi di Indonesia yang dilakukan kelompok tertentu disebabkan karena adanya undang-undang tersebut.
“Terlalu naïf menurut saya kalau [menganggap] masyarakat yang akar rumput melakukan sesuatu karena undang-undang. Undang-undang PNPS ini jangan selalu dijadkan kambing hitam karena bagaimanapun itu undang-undang yang sah atas nama hukum, atas nama negara,” ujar Nasaruddin.
Ketua Yayasan Studi Agama dan Filsafat Dawan Raharjo mengatakan pemerintah tidak boleh mengontrol kebebasan beragama melalui peraturan yang ada.
“[Pemerintah harus] melindungi kebebasan beragama agar agama ini berkembang dengan subur dan baik. Jadi jangan dihalang-halangi. Negara tidak boleh mengontrol tetapi memfasilitasi kehidupan beragama,” ujar Dawam.