Empat puluh tahun yang lalu, Presiden AS Jimmy Carter bernegosiasi dan menandatangani perjanjian bersejarah dengan China, yang menormalkan hubungan diplomatik antara kedua negara. Namun dalam beberapa dekade sejak itu, pertumbuhan ekonomi China yang sangat besar dan sanksi perdagangan AS tahun lalu terhadap Beijing membuat kedua negara saling waspada.
Empat dekade setelah menandatangani pakta tersebut, mantan Presiden AS Jimmy Carter duduk bersama kontributor VOA Greta Van Susteren untuk wawancara eksklusif. Carter menyebut perjanjian tahun 1979 itu sebagai kesuksesan yang bertahan lama.
"Apa yang dijanjikan Deng Xiaoping (pemimpin China waktu itu) kepada orang-orang China, dan dunia, dan Amerika Serikat, dan saya secara pribadi adalah keterbukaan dan reformasi. Dan mereka telah mengalami reformasi yang luar biasa di dalam China. Tidak ada perusahaan yang bebas di China sebelumnya. Dan setelah itu, China menjadi masyarakat yang sangat dinamis dan terbuka, sejauh menyangkut kegiatan ekonomi dan perdagangan," ujar Carter.
Your browser doesn’t support HTML5
Dia tidak setuju dengan sanksi yang diterapkan pemerintahan Trump terhadap Beijing dan merujuk pada konsesi yang diberikan China kepada AS sejak KTT G-20 tahun lalu di Argentina.
"China telah sepakat untuk melakukan dua atau tiga hal. Yang pertama adalah membeli lebih banyak kedelai. Mereka telah melakukan dua pembelian kedelai Amerika dalam ukuran besar. Mereka juga berjanji akan membuka peluang investasi bagi perusahaan-perusahaan Amerika di China. Pada saat kita tidak rukun dengan China, ini merugikan kita berdua," tambah Carter.
Sementara itu, pakar China Christopher Johnson merasa Presiden Donald Trump melakukan kesalahan dengan menarik AS dari Kemitraan Trans-Pasifik, TPP.
"Pada dasarnya, sebagian besar tantangan yang kita hadapi dalam hubungan bilateral, ekonomi dan perdagangan dengan China saat ini bisa diatasi dalam TPP. Khususnya masalah utama terkait subsidi untuk perusahaan milik negara, masalah transfer teknologi secara paksa, hal-hal terkait perlindungan hak kekayaan intelektual. Jika sekelompok negara menyatakan keprihatinan mereka, China cenderung lebih responsif," ujar Johnson.
Bagaimana dengan masa depan hubungan AS-China?
"Dalam jangka pendek, saya khawatir. Kita mengalami kemunduran yang nyata dalam hubungan strategis secara keseluruhan, bisa dibilang yang terburuk yang pernah kita lihat selama ini. Gesekan ekonomi dan perdagangan ini sebenarnya hanyalah gejala dari penyakit yang lebih besar, bagaimana kita akan rukun satu sama lain, secara global dua kekuatan besar ini?," tambahnya.
Johnson menambahkan, hubungan Washington-Beijing sangat penting bagi kekhawatiran AS lainnya - meyakinkan Korea Utara untuk melakukan denuklirisasi. [as]