Ibu Anak-anak Kulit Hitam AS Khawatirkan Nasib Anak Mereka

  • Karlina Amkas

Warga AS melakukan unjuk rasa dengan membawa tulisan "Stop Killing Us," saat aksi protes atas kebrutalan polisi, khususnya terhadap warga kulit hitam di Seattle, Washington (foto: ilustrasi).

Dengan penuh kecemasan, diaspora Indonesia yang menjadi ibu anak-anak kulit hitam, mengikuti jalannya protes di Amerika selama sebulan ini. Empat ibu mencurahkan pengalaman didiskriminasi dan kekhawatiran akan masa depan anak-anak mereka.

Protes jalanan pecah pasca kematian George Floyd pada 25 Mei. Situasi memanas ketika hampir tiga pekan kemudian seorang laki-laki kulit hitam lain, Rayshard Brooks, tewas juga dalam tahanan polisi. Protes berkembang menjadi tuntutan reformasi kepolisian, diakhirinya diskriminasi yang sistemik dan keadilan bagi warga kulit hitam.

Banyak ibu dengan anak-anak kulit hitam mencermati protes itu, diiringi kekhawatiran akan nasib anak-anak mereka. Perasaan mereka terwakili oleh ungkapan Walikota Atlanta Keisha Lance Bottoms, ibu dari empat anak laki-laki kulit hitam.

BACA JUGA: Protes-protes Anti Rasisme Berlanjut di AS

“Ketika saya melihat pembunuhan George Floyd, hati saya perih, keperihan yang layaknya dirasakan seorang ibu. Saya merasakan kekhawatiran ini setiap hari dan saya berdoa bagi keselamatan anak-anak saya setiap hari,” tutur Keisha.

Kekhawatiran juga meliputi ibu-ibu diaspora Indonesia, yang anak-anaknya juga kulit hitam Amerika. Apalagi hasil kajian yang terbit pada Proceedings of the National Academy of Sciences tahun 2019 menyebutkan satu dari 1000 laki-laki kulit hitam kemungkinan tewas oleh polisi.

Aminah di Upper Marlboro, Maryland, menjadi sangat protektif. Bahkan untuk bersepeda di sekitar rumah, tidak boleh anaknya pergi sendiri. Harus ditemani adik atau kakak.

Larangan pergi sendiri juga diterapkan Sri Wahyuni Suratman di Durham, North Carolina, kepada anak tunggalnya, yang kerap mengalami diskriminasi ganda: berhijab sebagai Muslimah dan sebagai orang kulit berwarna. Kekhawatiran membuat Sri berdoa pagi sore bagi anaknya, yang sering sedih mendapat perlakuan tidak adil.

Sri Wahyuni Suratman dan anaknya, Kamila, usia 21 tahun (kanan). Kamila mengalami dobel diskriminasi: Muslim dan kulit berwarna (foto: courtesy).

“Sebagai orangtua dan juga sebagai seorang muslim, saya bilang kepada anak saya, tidak usah sedih karena kita mempunyai Allah. Semua tidak akan terjadi kalau Allah melindungi kita,” tukas Sri Wahyuni.

Ani Madjid di San Diego, California, adalah ibu empat anak yang beranjak dewasa. Situasi sekarang, menurutnya, adalah akibat tekanan terus-menerus dari kelompok kulit putih terhadap minoritas kulit hitam. Menggemakan tuntutan pemrotes, Ani mengatakan, enough is enough. Orang kulit hitam sudah banyak menderita. Ia juga mengungkapkan, “Saya selalu khawatir akan keselamatan anak-anak saya, selalu berdoa bagi perlindungan mereka dan mempercayakan mereka kepada Allah.”

Stella Sanders, ibu dua anak di Charlottesville, Virginia berkali-kali mengingatkan anaknya agar tidak usah bertanya ketika, misalnya, distop polisi. Ia dan suaminya berpesan: Hadapi polisi dengan sopan, jawab pertanyaan dengan santun, dan jangan menunjukkan gerakan yang bisa berakibat fatal.

“Intinya, bagaimana kamu keluar dari sana selamat. Hidup,” pesannya.

Stella Sanders bersama suami dan dua putranya (courtesy: Stella Sanders)

Keempat ibu mengungkapkan pengalaman diperlakukan berbeda dalam banyak kesempatan dan di banyak tempat, baik ketika mereka sedang bersama atau ketika anaknya sendirian.

Ani ingat anaknya distop dan diinterogasi oleh polisi ketika bermain skate-board, dan pada saat lain, sedang bersepeda. Bagaimana barang-barang itu sampai ke tangannya? Apa betul itu miliknya? Polisi juga mencatat identitas lengkap anaknya.

Dan secara umum ada dua prasangka umum yang melekat pada laki-laki kulit hitam ketika mengendarai mobil bagus: Mobil itu hasil curian atau hasil perdagangan Narkoba.

Pembicaraan tentang rasisme hadir dalam keluarga empat ibu ini. Diskusi, kata Stella, menjadi ‘ramai’ karena anak-anaknya tidak bisa menerima diposisikan sebagai pihak yang tidak punya hak bicara dalam menghadapi polisi. Tetapi ia selalu mengatakan, itulah realitas. Di jalan, warga kulit hitam diperlakukan berbeda hanya karena warna kulit.

“Apakah kamu berpendidikan, kaya, miskin, atau anak siapa, mereka tidak akan lihat pada saat itu," ujar Stella.

Walaupun demikian, para ibu menasehati anak-anak agar tidak berprasangka kepada polisi karena tidak semua polisi akan berlaku kejam. Mereka sendiri mengajarkan keberagaman, sopan santun ala orang Timur, menyekolahkan anak setinggi mungkin, mengajak anak menjadi relawan, dan mengingatkan anak agar ikut memberikan suara dalam pemilu.

Your browser doesn’t support HTML5

Empat Ibu Anak-Anak Kulit Hitam AS Khawatir Nasib Anak Mereka

Menanggapi protes sebulan ini, Kongres menyiapkan undang-undang reformasi kepolisian. Senat akan mengumumkan undang-undang itu hari Rabu, dan DPR dijadwalkan menyampaikan versi mereka pada hari Kamis.

Walaupun sepertinya tidak mungkin tercapai dalam waktu dekat, ke empat ibu memimpikan hasil nyata aksi jalanan demi Amerika yang lebih adil bagi masa depan anak-anak mereka.[ka/jm]