ICC: Kejahatan Perang Baru Diduga Sedang Terjadi di Darfur

  • Associated Press

Sejumlah pengungsi asal Darfur, Sudan, tinggal di tenda pengungsi di wilayah perbatasan antara Sudan dan Chad di Borota, Chad, pada 13 Mei 2023. (Foto: Reuters/Zohra Bensemra)

Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), pada Kamis (13/7), mengatakan sedang menyelidiki dugaan terjadinya kejahatan perang baru dan kejahatan terhadap kemanusiaan di wilayah Darfur, Sudan. Konflik yang berkecamuk di negara itu telah membuat lebih dari 3.000 orang meregang nyawa dan memaksa lebih dari tiga juta lainnya meninggalkan rumah mereka.

Dalam sidang Dewan Keamanan PBB di New York, Jaksa ICC Karim Khan mengatakan pertempuran antara pasukan pemerintah dan kelompok paramiliter Rapid Security Forces (RSF) telah meluas ke Darfur, wilayah yang pada tahun 2003 telah dilanda pertumpahan darah.

Dewan Keamanan PBB pada tahun 2005 merujuk situasi di Darfur itu ke ICC, dan Khan mengatakan berdasarkan resolusi itu maka ICC masih memiliki mandat untuk menyelidiki kejahatan di wilayah yang luas itu.

BACA JUGA: Mesir Berusaha Tegakkan Gencatan Senjata Baru di Sudan

Darfur telah menjadi salah satu pusat konflik terbuka yang berawal pada 15 April lalu, yang bergulir menjadi kekerasan etnis di mana pasukan paramiliter dan milisi sekutu Arab kini menyerang kelompok etnis Afrika.

Khan: “Warga Darfur Berada di Tengah Jurang Bencana Kemanusiaan”

Kantor HAM PBB, pada Kamis pagi, mengatakan telah menemukan sedikitnya 87 mayat, sebagian berasal dari suku Masalit Afrika, dalam sebuah kuburan massal di wilayah Darfur Barat. Dengan mengutip “sumber-sumber informasi yang dapat dipercaya,” mayat-mayat tersebut merupakan korban yang diketahui telah dibunuh oleh pasukan RSF dan milisi sekutu.

Khan dengan suara lirih mengatakan “apapun analis yang digunakan, saat ini kita tidak lagi berada di jurang bencana kemanusiaan… kita berada di tengah jurang itu.”

“Ada perempuan dan anak-anak, tua dan muda, yang kini berada dalam ketakutan akan nyawa mereka, dan terpaksa hidup dalam ketidakpastian di tengah konflik ini, sementara rumah mereka dibakar. Banyak di antara mereka, yang sedang kita bicarakan dalam forum ini, tidak akan tahu apa yang akan terjadi nanti malam dan bagaimana nasib mereka besok,” ujar Khan.

Wilayah Darfur dilanda pertumpahan darah pada tahun 2003 ketika pemberontak dari komunitas etnis pusat dan sub-Sahara Afrika di wilayah itu melancarkan pemberontakan, setelah menuduh pemerintah di Khartoum – yang didominasi oleh etnis Arab – melakukan tindakan pengabaian dan bersikap diskriminatif.

BACA JUGA: PBB: 87 Mayat Ditemukan di Dalam Kuburan Massal di Sudan

Pemerintah Sudan di bawah Presiden Omar Al Bashir menanggapi pemberontakan itu dengan serangan bumi hangus, mulai dari pengeboman udara hingga mengaktifkan milisi Arab nomaden lokal – yang dikenal sebagai Janjaweed – yang diduga telah melakukan pembunuhan dan perkosaan massal. Lebih dari 300 ribu orang tewas dan 2,7 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat serbuan itu.

Khan berbicara di sidang Dewan Keamanan PBB setelah para pemimpni dari tujuh negara tetangga Sudan melangsungkan pertemuan di Kairo untuk membahas upaya perdamaian di negara itu; pertemuan paling berpengaruh sejak pecahnya konflik di Darfur 90 hari lalu.

Pertempuran selama 12 minggu terakhir ini telah mengubah Khartoum menjadi medan tempur perkotaan. [em/jm]