Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) merekomendasikan pemerintah untuk melakukan moratorium penuntutan pidana mati, juga tidak melakukan eksekusi mati karena politik hukum pidana mati telah berubah pasca KUHP Baru. Berdasarkan laporan ICJR yang dirilis baru-baru ini, sebanyak 509 orang berada dalam deret tunggu eksekusi mati di Indonesia.
Hukuman mati merupakan salah satu isu yang senantiasa menjadi kontroversi, tak terkecuali di Indonesia. Rencana untuk memberlakukan Undang-undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada awal Januari 2026 mulai menarik perhatian publik. Hal tersebut dikarenakan KUHP baru itu antara lain akan memperbarui hukuman mati, di mana hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun dan memperhatikan rasa penyesalan terdakwa, serta adanya harapan untuk memperbaiki diri. Jika terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji selama masa percobaan tersebut, pidana mati dapat diubah menjadi penjara seumur hidup.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitahsari, mengatakan berdasarkan ketentuan KUHP baru tersebut pihaknya merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan moratorium penuntutan pidana mati, tidak melakukan eksekusi serta membuat peraturan pelaksana mengenai mekanisme pengubahan pidana mati termasuk bagi terpidana mati sebelum KUHP Baru.
BACA JUGA: Bunuh dan Bawa Jasad Anak Berbulan-bulan, Seorang Ayah di New Hampshire Divonis Seumur Hidup“Kemudian kepada Mahkamah Agung, kami juga merekomendasikan moratorium penjatuhan pidana mati dan mengedepankan pidana jenis lainnya dalam memutus perkara pidana,” kata Iftitahsari saat menjadi pembicara dalam peluncuran laporan “Situasi Kebijakan Pidana Mati di Indonesia 2023” baru-baru ini.
ICJR mengatakan penuntutan dan penjatuhan pidana mati di Indonesia sepanjang tahun 2023 masih tinggi dan terus meningkat dalam 5 tahun terakhir. Pada periode 1 Januari hingga 31 Desember 2023 terdapat penambahan 218 kasus dengan 242 terdakwa, mayoritas adalah perkara narkotika yang mencapai 89%.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI yang diterima secara tertulis oleh ICJR, hingga tanggal 19 Oktober 2023 saja ada 509 terpidana mati dalam deret tunggu eksekusi. Angka tersebut termasuk 341 terpidana mati tindak pidana narkotika.
“Secara komposisi juga kita punya 12 terpidana mati perempuan dengan 497 terpidana mati laki-laki, yang mayoritas juga kasusnya narkotika sama dengan temuan penambahan kasus di awal, dan terdapat sekitar 110 orang yang per 29 Februari 2024 telah dalam deret tunggu eksekusi lebih dari 10 tahun,” jelas Iftitahsari.
Ia menambahkan bahwa berdasarkan kewarganegaraan sebanyak 420 orang atau sebesar 83% di antaranya adalah warga negara Indonesia (WNI), 89 orang lainnya warga negara asing (WNA).
Your browser doesn’t support HTML5
Ruang kemanusiaan yang lebih luas
Prof. Asep Nana Mulyana, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, mengatakan salah satu substansi KUHP baru yang berubah secara fundamental adalah pengaturan mengenai pidana mati sebagai jenis pidana yang bersifat khusus.
Tindak pidana yang dapat diancam dengan pidana yang bersifat khusus adalah tindak pidana bersifat sangat serius atau luar biasa antara lain tindak pidana narkotika, terorisme, korupsi dan tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia.
“Jika dibandingkan dengan jenis pidana yang lain, pidana mati merupakan pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun,” jelas Asep.
BACA JUGA: Polri dan Bea Cukai Gagalkan Penyelundupan Puluhan Ribu Pil Ekstasi dari Luar NegeriMenurut Asep, rumusan pidana mati dalam KUHP Baru memiliki ruang kemanusiaan yang lebih luas. Pidana mati dijatuhkan dengan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan, dan dapat diganti dengan pidana penjara seumur hidup.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kini sedang menyusun peraturan pelaksana dari ketentuan pidana mati dalam KUHP Baru yang diharapkan dapat selesai di Desember 2024 untuk harmonisasi dan pengundangannya.
Jalan tengah
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Taufik Basari, menilai menempatkan pidana mati sebagai pidana khusus merupakan jalan tengah pro kontra hukuman mati di Indonesia.
“Kita sudah mengambil satu politik hukum yang baru dimana untuk hukuman mati ini tidak lagi menjadi pidana pokok, tetapi menjadi pidana khusus Ini adalah politik hukum yang baru Saya melihat politik hukum baru ini sebagai satu jalan tengah,” kata Taufik.
Senada dengan rekomendasi ICJR, Taufik berpendapat untuk terpidana mati yang divonis sebelum adanya KUHP Baru tersebut secara otomatis sudah melekat masa percobaan 10 tahun.
BACA JUGA: Warga dan Mantan Narapidana Terorisme Diajari Budi Daya Lebah Madu Trigona“Kalau kita mau konsisten dengan politik hukum yang sudah kita ambil maka moratorium terhadap eksekusi mati itu juga harus dilakukan sebagai bagian dari konsistensi kita untuk menjalankan politik hukum pidana kita yang baru yang sudah kita ambil di dalam KUHP yang baru,” tambahnya.
Pencegahan penyiksaan
Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Abdul Haris Semendawai, mengatakan pihaknya berharap ada dukungan dari Kementerian Hukum dan HAM untuk memberikan ruang kepada Tim Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) guna mengunjungi tempat-tempat penahanan terpidana mati.
Dia mengingatkan bahwa bagi terpidana untuk berada dalam daftar tunggu eksekusi selama 10 tahun, sebagaimana yang dialami 110 terpidana mati, merupakan satu bentuk penyiksaan tersendiri.
“Jadi akan lebih baik kalau memang sejak awal mereka tidak dijatuhi hukuman mati, tetapi dijatuhi hukuman seumur hidup atau 20 tahun penjara,” kata Abdul Haris.
Tim KuPP beranggotakan lima lembaga HAM yaitu Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman RI dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Komnas HAM, kata Abdul Haris, menilai hukuman mati tidak efektif sebagai solusi pemberantasan kejahatan luar biasa dan tidak ada korelasi antara pemberantasan tindak pidana kejahatan dengan hukuman mati. [yl/em]