Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta penyelenggara pemilu melarang pemilih membawa alat komunikasi untuk mencegah adanya politik uang pasca pencoblosan.
JAKARTA —
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Abdullah Dahlan meminta pengawas dan penyelenggara pemilu mengeluarkan kebijakan yang melarang para pemilih membawa alat komunikasi seperti handphone dan kamera ke bilik suara.
Hal ini menurutnya penting untuk mencegah adanya politik uang pasca pencoblosan.
ICW bersama jaringan anti korupsi menemukan sejumlah calon legislatif dari semua partai politik diduga melakukan politik uang. Salah satu modus yang digunakan oleh beberapa caleg itu adalah dengan membagikan kupon kepada masyarakat.
Kupon itu lanjutnya bisa ditukar dengan uang apabila memperlihatkan hasil pilihannya nanti kepada caleg tersebut atau disebut dengan politik uang pasca pencoblosan.
Dia juga menjelaskan ada 113 kasus pelanggaran politik uang yang ditemukan selama masa kampanye. Selain pemberian uang secara langsung terhadap pemilih, juga ada bentuk lain seperti pemberian alat ibadah dan sembako dan juga pemberian kupon yang dapat diuangkan pasca pemilu.
Modus pemberian kupon yang dapat diuangkan pasca pemilu lanjutnya bisa dikatakan modus baru yang marak dilakukan pada masa kampanye.
Selain banyak politik uang yang terjadi kata Abdullah tidak sedikit penyalahgunaan fasilitas negara juga terjadi. Bukan hanya penggunaan mobil dinas tetapi sudah memasuki ranah kebijakan dengan menginstruksikan memilih kandidat tertentu.
Politik uang dan penyalahgunaan fasilitas negara pada masa kampanye ini lanjutnya banyak terjadi di Sumatera Utara, Riau, Banten, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat. Ada lima partai politik yang diduga banyak melakukan politik uang dan penggunaan fasilitas negara yaitu Partai Golkar (23 kasus dugaan pelanggaran), PAN (19 kasus), Partai Demokrat (17 kasus), PDI Perjuangan (13 kasus), PPP (12 kasus),.
Pelakunya kata Abdullah 53 persen dilakukan oleh calegnya langsung.
Kecurangan yang terjadi pada masa kampanye yang ditemukan ICW dan jaringannya itu tambahnya telah dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Tindakan-tindakan seperti politik uang harus ditindaklanjuti secara hukum karena merupakan tindak pidana.
Abdullah menjelaskan,"Nanti kupon itu akan memiliki nilai uang ketika mereka bisa menunjukan pilihan politiknya kepada caleg itu. Nah ini yang dinamakan modus prabayar yang dilakukan karena sebagian caleg-caleg sadar mereka yang diberi uang harus memberikan kontribusi suara bagi mereka."
Sebuah survei Asia Foundation baru-baru ini menunjukkan bahwa lebih dari 40 persen pemilih di Indonesia mau menerima uang atau hadiah dari calon legislatif, sementara survei-survei lain menemukan angka itu lebih dari 50 persen.
Orang-orang tidak melihat praktik ini sebagai korupsi. Mereka tidak melihat bahwa menerima uang sama dengan berkontribusi pada korupsi.
Masyarakat Jakarta yang ditemui VOA menanggapi beragam soal politik uang.
Seorang warga Jakarta, Fahmi mengatakan, "Kalau saya sih ambil saja tetapi saya tidak akan milih karena saya tahu gak benar kalau sudah pakai uang."
Sementara rekannya Hendri berpandangan, "Money politics merusak sendi-sendi demokrasi, apapun tetap itu tidak benar."
Direktur Riset Charta Politica, Yunarto Wijaya mengatakan tidak akan terjadi kecurangan sistematis pada pemilu 2014. Menurutnya saat ini tidaklah mudah kecurangan bisa terjadi secara massif.
"Pertama bangsa kita sangat besar 550 ribu, kita memiliki 12 parpol yang itu akan menjadi saksi untuk bisa melihat proses kampanye sampai penghitungan suara. Kalau kita bicara tentang penghitungan suara pun sudah ada perbaikan. Dulu kertas C1 yang menjadi basis perhitungan suara itu bisa dibuat palsu, bisa dibuat publikasinya. Sekarang sudah disertai gambar hologram, salinan C1 akan discan diaturan baru dan dalam waktu beberapa hari langsung masuk di website KPU," kata Yunarto.
Yunarto menambahkan sekarang masyarakat juga semakin cerdas. Apabila terjadi kecurangan melalui politik transaksional tidak serta merta merubah perilaku masyarakat.
Hal ini menurutnya penting untuk mencegah adanya politik uang pasca pencoblosan.
ICW bersama jaringan anti korupsi menemukan sejumlah calon legislatif dari semua partai politik diduga melakukan politik uang. Salah satu modus yang digunakan oleh beberapa caleg itu adalah dengan membagikan kupon kepada masyarakat.
Kupon itu lanjutnya bisa ditukar dengan uang apabila memperlihatkan hasil pilihannya nanti kepada caleg tersebut atau disebut dengan politik uang pasca pencoblosan.
Dia juga menjelaskan ada 113 kasus pelanggaran politik uang yang ditemukan selama masa kampanye. Selain pemberian uang secara langsung terhadap pemilih, juga ada bentuk lain seperti pemberian alat ibadah dan sembako dan juga pemberian kupon yang dapat diuangkan pasca pemilu.
Modus pemberian kupon yang dapat diuangkan pasca pemilu lanjutnya bisa dikatakan modus baru yang marak dilakukan pada masa kampanye.
Selain banyak politik uang yang terjadi kata Abdullah tidak sedikit penyalahgunaan fasilitas negara juga terjadi. Bukan hanya penggunaan mobil dinas tetapi sudah memasuki ranah kebijakan dengan menginstruksikan memilih kandidat tertentu.
Politik uang dan penyalahgunaan fasilitas negara pada masa kampanye ini lanjutnya banyak terjadi di Sumatera Utara, Riau, Banten, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat. Ada lima partai politik yang diduga banyak melakukan politik uang dan penggunaan fasilitas negara yaitu Partai Golkar (23 kasus dugaan pelanggaran), PAN (19 kasus), Partai Demokrat (17 kasus), PDI Perjuangan (13 kasus), PPP (12 kasus),.
Pelakunya kata Abdullah 53 persen dilakukan oleh calegnya langsung.
Kecurangan yang terjadi pada masa kampanye yang ditemukan ICW dan jaringannya itu tambahnya telah dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Tindakan-tindakan seperti politik uang harus ditindaklanjuti secara hukum karena merupakan tindak pidana.
Abdullah menjelaskan,"Nanti kupon itu akan memiliki nilai uang ketika mereka bisa menunjukan pilihan politiknya kepada caleg itu. Nah ini yang dinamakan modus prabayar yang dilakukan karena sebagian caleg-caleg sadar mereka yang diberi uang harus memberikan kontribusi suara bagi mereka."
Sebuah survei Asia Foundation baru-baru ini menunjukkan bahwa lebih dari 40 persen pemilih di Indonesia mau menerima uang atau hadiah dari calon legislatif, sementara survei-survei lain menemukan angka itu lebih dari 50 persen.
Orang-orang tidak melihat praktik ini sebagai korupsi. Mereka tidak melihat bahwa menerima uang sama dengan berkontribusi pada korupsi.
Masyarakat Jakarta yang ditemui VOA menanggapi beragam soal politik uang.
Seorang warga Jakarta, Fahmi mengatakan, "Kalau saya sih ambil saja tetapi saya tidak akan milih karena saya tahu gak benar kalau sudah pakai uang."
Sementara rekannya Hendri berpandangan, "Money politics merusak sendi-sendi demokrasi, apapun tetap itu tidak benar."
Direktur Riset Charta Politica, Yunarto Wijaya mengatakan tidak akan terjadi kecurangan sistematis pada pemilu 2014. Menurutnya saat ini tidaklah mudah kecurangan bisa terjadi secara massif.
"Pertama bangsa kita sangat besar 550 ribu, kita memiliki 12 parpol yang itu akan menjadi saksi untuk bisa melihat proses kampanye sampai penghitungan suara. Kalau kita bicara tentang penghitungan suara pun sudah ada perbaikan. Dulu kertas C1 yang menjadi basis perhitungan suara itu bisa dibuat palsu, bisa dibuat publikasinya. Sekarang sudah disertai gambar hologram, salinan C1 akan discan diaturan baru dan dalam waktu beberapa hari langsung masuk di website KPU," kata Yunarto.
Yunarto menambahkan sekarang masyarakat juga semakin cerdas. Apabila terjadi kecurangan melalui politik transaksional tidak serta merta merubah perilaku masyarakat.