ICW dan Kementerian Dalam Negeri mengatakan pemilihan kepala daerah secara langsung berkorelasi positif dengan terjadinya kasus korupsi.
JAKARTA —
Lembaga anti-korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) baru-baru ini menyatakan bahwa tren pemberantasan korupsi selama tiga tahun terakhir di Indonesia mengalami peningkatan.
Pada 2013 lalu jumlah tersangka kasus korupsi berjumlah 1271 orang, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 401 orang dan 436 pada 2011. Dari semua tersangka yang korupsinya meningkat secara signifikan kata ICW adalah kepala daerah.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengakui banyaknya kepala daerah yang melakukan korupsi.
Menurutnya, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri sejak pemilihan kepala daerah diberlakukan pada 2005 hingga Januari 2014, ada 317 dari 524 kepala daerah melakukan korupsi.
Efek dari korupsi kepala daerah, lanjutnya, juga melanda birokrasi di daerah dimana ketika kepala daerah terkena persoalan korupsi, birokrasi di level bawah seperti sekretaris daerah, kepala dinas dan bendahara juga ikut terkena.
Data Kementerian Dalam Negeri, kata Djohermansyah, menyebutkan hampir 2.000 pegawai sipil terjerat kasus korupsi. Efeknya, menurutnya, juga kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dia mengatakan sejak pilkada langsung ada sekitar 3.000 lebih anggota DPRD baik di provinsi maupun kabupaten/kota terkena kasus korupsi.
Djohermansyah menyatakan pemilihan kepala daerah secara langsung berkorelasi positif atau sangat berhubungan dengan terjadinya kasus korupsi di daerah. Biaya kepala daerah yang tinggi merupakan salah satu penyebabnya, ujarnya.
“Rakyat cenderung minta dikasih apa-apa oleh kandidat. Nah, ini akibatnya ada sponsor terhadap kandidat. Nah, uang itu harus dikembalikan. Beban APBD melalui mekanisme pengelolaan keuangan yang korup, itu yang menyebabkan timbulnya kasus-kasus kepala daerah yang terkena proses hukum itu,” ujarnya.
Djohermansyah menambahkan saat ini pemerintah sedang membahas bersama DPR perubahan tata cara pemilihan kepala daerah. Pembahasan ini diperkirakan selesai pada 6 Maret, sehingga pemerintahan baru bisa memiliki sistem pemilihan kepada daerah yang lebih baik.
Salah satu usulan pemerintah, kata Djohermansya, harus ada perbaikan dalam sistem pemilihan dimana tata cara mekanisme yang sangat mahal bisa mengurangi atau menghilangkan, misalnya kampanye-kampanye yang tidak perlu, atau kampanye rapat yang biasa dilakukan.
Pemilihan langsung, tambahnya, memerlukan pemilih yang sudah punya pendidikan yang baik, ekonomi yang baik dan aktor-aktor yang sudah memiliki kesadaran politik yang baik serta penyelenggara pemilu yang profesional, independen dan bukan yang memihak, dan itu belum cukup dimiliki saat ini.
“Baiknya memang harus ada sistem pemilihan asimetris, jadi jangan seragam. Yang memang pemilihan langsung bisa kasih dia pemilihan langsung. Tetapi yang belum misalnya pemilihan langsung bisa melalui DPRD ya melalui DPRD. Yang tidak perlu dipilih seperti Yogyakarta itu Gubernur, ada sultan yang bertahta. Jadi tidak diseragamkan,” ujarnya.
Sementara itu Peneliti Hukum ICW Tama S. Langkun menilai menghilangkan pemilihan kepala daerah langsung sangat tidak relevan karena yang harus dibenahi adalah penyelenggaraan pemilunya, dimana kewenangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu ditambah sehingga bisa menjadi tegas.
“Jadi yang pertama itu kalau kita bicara di beberapa negara dalam pemberantasan korupsi dia akan memulai dari penegakan hukum, itu dihabiskan, baru masuk ke sistem pemilihannya. Kita sepertinya masih pada tahap pertama, bagaimana kemudian penegak hukum kita pompa terus agar dia bekerja dan kontrolnya sangat kuat, setelah itu baru kita masuk ke persoalan pemilu,” ujarnya.
Pada 2013 lalu jumlah tersangka kasus korupsi berjumlah 1271 orang, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 401 orang dan 436 pada 2011. Dari semua tersangka yang korupsinya meningkat secara signifikan kata ICW adalah kepala daerah.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengakui banyaknya kepala daerah yang melakukan korupsi.
Menurutnya, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri sejak pemilihan kepala daerah diberlakukan pada 2005 hingga Januari 2014, ada 317 dari 524 kepala daerah melakukan korupsi.
Efek dari korupsi kepala daerah, lanjutnya, juga melanda birokrasi di daerah dimana ketika kepala daerah terkena persoalan korupsi, birokrasi di level bawah seperti sekretaris daerah, kepala dinas dan bendahara juga ikut terkena.
Data Kementerian Dalam Negeri, kata Djohermansyah, menyebutkan hampir 2.000 pegawai sipil terjerat kasus korupsi. Efeknya, menurutnya, juga kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dia mengatakan sejak pilkada langsung ada sekitar 3.000 lebih anggota DPRD baik di provinsi maupun kabupaten/kota terkena kasus korupsi.
Djohermansyah menyatakan pemilihan kepala daerah secara langsung berkorelasi positif atau sangat berhubungan dengan terjadinya kasus korupsi di daerah. Biaya kepala daerah yang tinggi merupakan salah satu penyebabnya, ujarnya.
“Rakyat cenderung minta dikasih apa-apa oleh kandidat. Nah, ini akibatnya ada sponsor terhadap kandidat. Nah, uang itu harus dikembalikan. Beban APBD melalui mekanisme pengelolaan keuangan yang korup, itu yang menyebabkan timbulnya kasus-kasus kepala daerah yang terkena proses hukum itu,” ujarnya.
Djohermansyah menambahkan saat ini pemerintah sedang membahas bersama DPR perubahan tata cara pemilihan kepala daerah. Pembahasan ini diperkirakan selesai pada 6 Maret, sehingga pemerintahan baru bisa memiliki sistem pemilihan kepada daerah yang lebih baik.
Salah satu usulan pemerintah, kata Djohermansya, harus ada perbaikan dalam sistem pemilihan dimana tata cara mekanisme yang sangat mahal bisa mengurangi atau menghilangkan, misalnya kampanye-kampanye yang tidak perlu, atau kampanye rapat yang biasa dilakukan.
Pemilihan langsung, tambahnya, memerlukan pemilih yang sudah punya pendidikan yang baik, ekonomi yang baik dan aktor-aktor yang sudah memiliki kesadaran politik yang baik serta penyelenggara pemilu yang profesional, independen dan bukan yang memihak, dan itu belum cukup dimiliki saat ini.
“Baiknya memang harus ada sistem pemilihan asimetris, jadi jangan seragam. Yang memang pemilihan langsung bisa kasih dia pemilihan langsung. Tetapi yang belum misalnya pemilihan langsung bisa melalui DPRD ya melalui DPRD. Yang tidak perlu dipilih seperti Yogyakarta itu Gubernur, ada sultan yang bertahta. Jadi tidak diseragamkan,” ujarnya.
Sementara itu Peneliti Hukum ICW Tama S. Langkun menilai menghilangkan pemilihan kepala daerah langsung sangat tidak relevan karena yang harus dibenahi adalah penyelenggaraan pemilunya, dimana kewenangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu ditambah sehingga bisa menjadi tegas.
“Jadi yang pertama itu kalau kita bicara di beberapa negara dalam pemberantasan korupsi dia akan memulai dari penegakan hukum, itu dihabiskan, baru masuk ke sistem pemilihannya. Kita sepertinya masih pada tahap pertama, bagaimana kemudian penegak hukum kita pompa terus agar dia bekerja dan kontrolnya sangat kuat, setelah itu baru kita masuk ke persoalan pemilu,” ujarnya.