ICW Sebut Presiden dan DPR Hancurkan KPK 

  • Fathiyah Wardah

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana merilis catatan akhir tahunnya mengenai pemberantasan korupsi di kantornya, Minggu, 29 Desember 2019. (Foto: VOA/Fathiyah)

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut 2019 merupakan tahun terburuk dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Dalam catatan akhir tahunnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut 2019 merupakan tahun terburuk dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. ICW menilai Presiden Joko Widodo sama sekali tidak memiliki perhatian pada agenda pemberantasan korupsi.

Dalam jumpa pers di kantornya di Jakarta, Minggu (29/12), peneliti ICW Kurnia Ramadhana bahkan menyebut Presiden Joko Widodo bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah merusak agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.

BACA JUGA: Jokowi Resmi Lantik Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK

"Kita menilai (2019) ini merupakan tahun paling buruk bagi pemberantasan korupsi. Ini adalah tahun kehancuran daripada KPK yang disponsori langsung oleh istana, yaitu Presiden Joko Widodo dan anggota DPR periode 2014-2019 dan 2019-2024 mendatang," kata Kurnia.

Kurnia menyampaikan dua alasan kenapa Presiden Joko Widodo dan DPR layak dituduh mensponsori kehancuran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia menjelaskan istana dan DPR berhasil meloloskan lima figur pimpinan KPK yang menurut ICW terburuk sejak lembaga antirasuah tersebut dibentuk pada 2003.

Sebab kelima pimpinan KPK itu dihasilkan dari proses seleksi yang banyak menuai persoalan. Menurutnya, panitia seleksi calon pimpinan KPK yang dibentuk Presiden Joko Widodo Mei lalu memicu polemik karena dugaan konflik kepentingan. Tiga dari sembilan anggota panitia seleksi ini memiliki kedekatan dengan institusi Polri.

Kurnia menegaskan ICW memastikan proses seleksi calon pimpinan KPK tidak mempunyai nilai integritas karena pimpinan KPK terpilih memiliki catatan negatif di masa lalu. Salah satunya tidak patuh dalam melaporkan harta kekayaannya sebagai pejabat publik. Juga ketua KPK saat ini diduga pernah melanggar kode etik.

ICW juga menganggap Presiden Joko Widodo telah melanggar Undang-undang KPK yang baru disahkan tahun ini karena melantik Nurul Ghufron sebagai salah satu komisioner KPK, meski usianya belum mencapai batas minimum 50 tahun, seperti disyaratkan dalam undang-undang.

Menurut Kurnia, alasan lain kenapa Presiden Joko Widodo dan DPR pantas dituding mensponsori kehancuran KPK adalah revisi Undang-undang KPK yang berhasil disahkan pada 17 Oktober lalu. Dia menekankan KPK sejak 17 Oktober tidak lagi seperti sediakala, kerjanya pasti akan lambat.

ICW memandang Presiden Joko Widodo tengah memainkan isu meletakkan orang-orang baik di dalam sistem yang salah. Pihak istana mengklaim lima orang berintegritas dalam Dewan Pengawas KPK membuat Presiden Joko Widodo tidak perlu lagi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk membatalkan revisi Undang-undang KPK yang dinilai banyak pihak malah menghancurkan KPK itu sendiri.

ICW menyebut Presiden Joko Widodo juga telah melanggar Konvensi Antikorupsi karena mengeluarkan peraturan presiden yang memasukkan KPK sebagai bagian dari pemerintah, bukan lagi lembaga independen.

Lima Pimpinan KPK periode 2019-2023 usai dilantik di Istana Negara, Jakarta , Jumat (20/12) (Biro Setpres)

Komisioner KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan pimpinan KPK yang baru akan mencoba merespon dan menindaklanjuti harapan banyak pihak agar pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan makin baik.

"Kami akan memperbaiki jika ternyata ada hal-hal kurang mendapat perhatian serius untuk dilaksanakan dengan maksimal. Apalagi harapannya pimpinan baru ini berkomitmen untuk mendukung peran SPK agar kemudian berhasil capaian meminimalisir tindak pidana korupsi," ujar Lili.

Hingga laporan ini disampaikan, VOA belum berhasil meminta tanggapan dari juru bicara kepresidenan Fadjroel Rachman dan Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa ia tidak berkompromi dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai ujung tombak pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi di Indonesia, harus memiliki peran sentral dan memiliki kewenangan yang lebih kuat. [fw/em]