Indonesia termasuk dalam daftar negara dengan polusi udara terburuk di dunia. Salah satu polusi terburuk terdapat di ibu kota negara, Jakarta. Pada temu media Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Senin (8/8), Guru Besar Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Agus Dwi Susanto, mengatakan polusi udara yang terakumulasi dalam jangka waktu panjang sangat berbahaya bagi semua makhluk hidup, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan.
Polusi udara yang melebihi ambang batas yang diperbolehkan, kata Agus, akan menimbulkan berbagai masalah kesehatan, mulai dari iritasi, peradangan, kerusakan saraf, sesak nafas, hingga penyakit lain yang merusak sistem jaringan pada tubuh seperti kanker dan stroke.
“Polusi itu yang lebih berbahaya adalah dampak jangka panjang. Kalau tiap hari kita menghirup udara polutan di Jakarta seperti ini berbulan-bulan, bertahun-tahun, apa yang terjadi? Secara sederhana, penurunan fungsi paru terjadi, hipersensitif saluran napas, alergi, asma, PPOK, penyakit jantung, kanker, bisa muncul,” jelasnya.
Sumber polusi bisa berasal dari alam dan buatan manusia atau manufaktur. Keduanya mampu meningkatkan risiko tubuh terserang berbagai penyakit. Udara yang tercemar mengandung gas serta material berukuran sangat kecil, yang bila terhirup dapat membahayakan kesehatan organ dalam tubuh.
Agus mengatakan, masyarakat perlu menyadari pentingnya deteksi dini masalah kesehatan terutama bagi yang tinggal di daerah dengan paparan polusi udara kategori buruk. Dari 6,7 juta kematian prematur akibat polusi udara, sekitar 37 persen merupakan penyakit jantung iskemik. Deteksi dini dengan memeriksakan kondisi kesehatan tubuh secara rutin dan berkala, menurut Agus, akan dapat meminimalisir risiko terkena penyakit.
“Yang terpenting adalah early detection. Jadi, bagi orang-orang yang terekspos polusi tiap hari, maka dia harus bisa melakukan pemeriksaan berkala kesehatan tubuhnya, apakah sudah terkena dampak kesehatan atau tidak. Karena kalau sudah kena, maka harus diobati sesegera mungkin, dicegah tidak boleh terkena polusi lagi. In shaa Allah itu akan akan possible, bisa kembali seperti semula, kalau dia dari awal ketahuan. Permasalahannya adalah model masyarakat kita ini bukan masyarakat yang sadar akan kesehatan. Kalau tidak ada keluhan, dia tidak akan cek,” tambah Agus.
Sementara, aktivis lingkungan ECOTON, Daru Setyorini, menyebut pencemaran udara sebagai pembunuh yang tidak terduga. Aktivitas masyarakat yang membakar sampah rumah tangga, turut menyumbang polusi udara yang membahayakan kesehatan masyarakat.
“Pencemaran udara itu merupakan, bisa dibilang sebagai silent killer. Kita tidak menyadari kalau udara yang kita hirup sehari-hari itu sudah tercemar oleh gas beracun yang ada di sekitar kita, termasuk juga kalau di daerah permukiman itu dari kegiatan penanganan sampah yang umumnya dibakar,” ujarnya.
BACA JUGA: Emisi Karbon Dioksida Capai Rekor Tertinggi pada 2022Tidak hanya menyebabkan penyakit yang berhubungan dengan saluran pernapasan, Daru mengingatkan, bahaya polutan yang tersebar melalui udara dapat mengkontaminasi air, tanaman, hingga produk pangan masyarakat.
“Dan racun-racun ini setelah dilepas ke udara, dia juga bisa berikatan dengan air yang kalau mengendap, kemudian berikatan dengan senyawa-senyawa yang ada di air, itu mencemari perairan, mungkin ketika hujan, abu sisa pembakaran ini juga akan larut, masuk ke dalam tanah, mencemari air sumur kita, juga bisa mencemari tanah pertanian. Jadi, secara tidak langsung pencemaran udara ini justru akan semakin menyebarkan racun-racun berbahaya ini ke semua media kehidupan kita,” kata Daru.
Terkait pemindahan ibu kota negara untuk menangani masalah polusi udara, Agus menilai langkah itu harus dilakukan secara holistik dan tidak bersifat sementara. Agus menyarankan masyarakat turut aktif mengurangi sumber polusi, dengan beralih dari penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi umum massal, mencegah kerusakan lingkungan dan melakukan penghijauan, serta menetapkan peraturan standar baku mutu udara sesuai standar WHO.
“Terkait dengan pemindahan IKN, ini tentu arahan dari pemerintah sebagai salah satu upaya untuk mengurangi polusi. Tetapi polusi ini bukan hanya terjadi di kota Jakarta, ada di Surabaya, ada di Palembang, ada di Medan, ada di Bandung. Artinya, pencegahan untuk pemindahan ibu kota hanya menyelesaikan masalah di Jakarta. Jadi, mesti dipikirkan lebih holistik,” pungkasnya. [pr/ka]