IKOHI Luncurkan Film Korban Penghilangan Paksa 1998, Berharap Generasi Muda Tidak Lupa

  • Petrus Riski

Dionysius Utomo Raharjo (rambut putih), ayah Petrus Bima Anugrah, dan Hera Haslinda (pegang bunga), kakak Herman Hendrawan, menghadiri peluncuran Film Yang (Tak Pernah) Hilang (VOA/Petrus Riski)

Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) besama #kawanhermanbimo menggelar grand lauching pemutaran film berjudul “Yang (Tak Pernah) Hilang”. Film ini merupakan film dokumenter yang menceritakan sosok dua mahasiswa Surabaya yang hilang saat pecahnya gerakan Reformasi Mei 1998.

Ruang auditorium Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya terlihat penuh oleh pengunjung yang kebanyakan mahasiswa dan mantan aktivis mahasiswa.

Sebuah lagu dilantunkan oleh dua orang penyanyi sambil memetik gitar. Syair lagunya berkisah tentang hilangnya 13 mahasiswa saat gerakan Reformasi 1998 meletus di Jakarta. Tampilan dua seniman ini mengawali acara "nonton bareng" dan peluncuran film berjudul “Yang (Tak Pernah) Hilang”.

Hilangnya dua aktivis mahasiswa Surabaya yaitu Petrus Bima Anugrah dan Herman Herdrawan, menjadi fokus cerita film berdurasi sekitar dua jam ini. Sebanyak 31 orang menuturkan kesaksiannya tentang kisah hidup dan perjalanan pergerakan dua mahasiswa Universitas Airlangga ini, yang hilang bersama 11 mahasiswa lainnya dari kota-kota lain saat terjadi aksi melengserkan penguasa Orde Baru.

Spanduk Film Yang (Tak Pernah) Hilang. (VOA/Petrus Riski)

Dionysius Utomo Raharjo, ayah dari Petrus Bima Anugrah, turut hadir dan menyaksikan pemutaran film dokumenter ini. Bersama pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan film ini, Utomo menyampaikan ucapan terima kasihnnya karena masih ada yang peduli dan mengingat anaknya yang diculik dan tidak jelas keberadaannya hingga kini. Dia mengatakan, uoaya mengingat anaknya melalui film ini menjadi kekuatan tersendiri bagi Utomo yang lebih memilih ikhlas dan berserah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

“Itu bapak tidak pernah komentar apa-apa, ya sudahlah politik memang seperti itu, bapak menyadari hal kemungkinan sesuatu terjadi, ya sudahlah tidak apa-apa. Tidak pernah aku emosi, marah, atau menyalahkan, sama sekali. Ya sudah itu namanya politik, bisa saja terjadi kapan pun dan di mana pun,” jelasnya.

Hadir pula Hera Haslinda, kakak dari Herman Hendrawan. Menurut Hera, film tentang memorialisasi adiknya ini menegaskan bahwa Herman tidak pernah hilang dari ingatan dan hati semua orang terdekatnya, meski secara fisik Herman tidak berada di antara mereka.

Kepada Nagara, Hera meminta kesungguhan pemerintah untuk menuntaskan kasus penghilangan paksa 13 orang mahasiswa era 1997-1998, yang berjuang menegakkan demokrasi dari tirani penguasa Orde Baru.

“Ke depannya untuk pemerintah, minta tolong diselesaikan, dituntaskan masalah ini supaya terungkap. Kalau memang tahu makam, kuburannya, ya diberi tahu agar kami bisa ke sana, ziarah. Kalau memang tidak ketemu, pemerintah memberikan statement, bahwa pemerintah salah, bahwa penghilangan paksa ini memang berisiko besar. Jadi, kami minta ya pemerintah sadar bahwa ini memang kejadiannya ada,” kata Hera Haslinda.

Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Jawa Timur, Dandik Katjasungkana, mengatakan pembuatan film ini merupakan bagian dari upaya untuk mendesak pemeritah serta elit politik agar menyelesaikan kasus ini. Menurut Dandik, penyelesaian kasus ini bergantung pada itikad baik pemerintah untuk menyelesaikannya, karena sejak 2009 telah ada empat rekomendasi yang dikeluarkan DPR RI sebagai payung hukum dan politik.

Your browser doesn’t support HTML5

IKOHI Luncurkan Film Korban Penghilangan Paksa 1998, Berharap Generasi Muda Tidak Lupa

Dandik tidak menampik peluncuran film ini akan memunculkan dugaan terkait kontestan pemilu. Namun, kata Dandik, film ini tidak terkait dengan pemilu karena merupakan upaya menghidupkan kembali ingatan tentang kawan yang hilang dan tidak adanya upaya untuk mengungkap keberadaan mereka hingga kini.

“Film ini tidak ada kaitannya sama sekali soal pemilu atau tidak ada pemilu, karena memang kami niatkan sebagai upaya memoralisasi terhadap kawan kami yang hilang itu, Herman dan Bimo. Yang kami maui, film ini sebagai media untuk menyapa khususnya ini para generasi muda, supaya belajar dari persoalan-persoalan masa lalu terutama kasus penculikan aktivis ini. Supaya mereka menjadi bagian dari gerakan yang bisa mencegah terjadinya keberulangan kejahatan kemanusiaan di negeri ini,” kata Dandik Katjasungkana.

Dua musisi membawakan lagu tentang hilangnya 13 mahasiswa saat Reformasi 1998, di awal pemutaran film Yang (Tak Pernah) Hilang. (VOA/Petrus Riski)

Dandik mengaskan, hadirnya film ini menjadi upaya untuk mengingatkan kembali generasi muda terhadap kehidupan demokrasi yang dinikmati saat ini lahir dari perjuangan dan pengorbanan banyak pihak, termasuk Herman dan Bimo. Kejadian penghilangan paksa pada masa lalu harus menjadi pelajaran berharga agar jangan sampai terulang kembali.

“Kalau anak-anak muda sekarang tahu, itu kan paling tidak mereka punya pemikiran bagaimana mereka harus bertindak, atau bagaimana mereka harus mengantisipasi kalau pemerintahan ini akan mengulangi kejadian-kejadian seperti masa lalu itu. Kalau mereka tidak tahu apa-apa kan, jadi celaka, tidak mengerti apa-apa. Seperti hari ini misalnya, tiba-tiba kita tahu penjahat HAM itu menang dalam proses pemilu. Itu artinya mereka tidak paham, tidak tahu sejarah, atau tidak peduli track record, track record para elit yang mau menjadi pemimpin negeri ini,” sebutnya.

Rektor Untag Surabaya, Prof Mulyanto Nugroho, mengajak semua pihak untuk mengingatkan pemerintah agar menuntaskan kasus ini, demi tegaknya hukum dan hak asasi manusia di Indonesia.

“Harapannya kita mengingatkan, mengingatkan terus bahwa negara ini miliknya bangsa dan negara, rakyat semuanya tentunya. Kita di akademisi tentunya mengingatkan, jangan sampai terulang kembali tahun 1998. Ditemukan, harus kasus tentang orang hilang. Kasus tentang HAM itu harus dilakukan penegakan hukum,” komentarnya. [pr/lt]