Puluhan ribu orang digigit ular setiap tahunnya di Kenya, dengan perkiraan ribuan kematian dan ribuan kasus komplikasi kesehatan permanen. Antivenom atau antibisa ular biasanya diimpor dari negara lain, namun sebagian besar bersifat spesifik wilayah, sehingga obat tersebut tidak bekerja secara efektif di Kenya. Para ilmuwan Kenya dan Inggris kini berupaya mengembangkan antivenom lokal untuk mengurangi kematian akibat gigitan ular.
Penduduk di Kitui, Kenya, terus-menerus hidup dalam ketakutan akan gigitan ular berbisa. Seiring menyusutnya wilayah hutan di sekitar wilayah tempat tinggal mereka akibat penebangan dan perluasan pertanian, serta pola iklim menjadi semakin tidak dapat diprediksi, reptil itu kini merambah wilayah manusia dengan frekuensi yang mengkhawatirkan.
Fakta ini dibenarkan George Maranga, ahli herpetologi senior di Pusat Riset dan Intervensi Gigitan Ular Kenya (KSRIC).
“Ini adalah akibat dari populasi manusia yang menimbulkan dampak buruk pada habitat mereka, seperti perusakan hutan. Ular akhirnya datang ke rumah kita, terutama untuk mencari air atau makanan dan akhirnya terjadi konflik antara manusia dan ular,” jelasnya.
Maranga mengatakan, perubahan iklim juga sangat mempengaruhi perilaku ular. Jika hujan tidak turun dalam waktu lama, menurutnya, ular akan terpaksa mencari sumber air alternatif, seperti yang ada di kawasan permukiman atau habitat manusia. Sewaktu hujan deras dan banjir terjadi, ular juga mencari perlindungan yang aman di daerah kering, yang artinya kawasan yang umumnya dihuni manusia.
Menurut Lembaga Riset Primata Kenya, sekitar 20.000 orang digigit ular setiap tahunnya di Kenya. Di antara kasus-kasus tersebut, diperkirakan 4.000 orang meninggal dunia, sementara 7.000 orang mengalami kelumpuhan atau menderita berbagai komplikasi kesehatan akibat gigitan ular.
Menurut KSRIC, sekitar 60 persen korban gigitan ular tidak mencari perawatan di rumah sakit, dan memilih metode tradisional yang tidak efektif.
Your browser doesn’t support HTML5
Kenya mengimpor obat antivenom ular dari Meksiko dan India. Namun, 50 persen antivenom yang diimpor tidak efektif. Antivenom sebagian besar bersifat spesifik wilayah, artinya antivenom yang dihasilkan dari bisa di satu wilayah mungkin tidak efektif mengobati gigitan ular di wilayah lain.
KSRIC bekerja sama dengan Sekolah Kedokteran Tropis Liverpool, secara aktif berupaya mengembangkan antivenom yang bertujuan mengurangi kematian akibat gigitan ular secara signifikan.
George Omondi adalah peneliti senior di Lembaga Riset Primata dan kepala KSRIC.
“Kami sedang mencari dan mengembangkan apa yang kami sebut sebagai terapi gigitan ular generasi baru. Antivenom konvensional yang ada saat ini sudah cukup tua dan memiliki beberapa kekurangan bawaan. Jadi dengan berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan terapi gigitan ular baru yang memiliki khasiat lebih baik dibandingkan dengan antivenom yang ada saat ini, kami berharap dapat meningkatkan penanganan dan hasil pengobatan gigitan ular,” sebutnya.
Penelitian ini sudah berada pada tahap lanjut, yang melibatkan imunisasi unta, babun, dan sapi untuk meningkatkan antibodi guna pengembangan antivenom di masa depan.
Mengingat perubahan iklim semakin tidak menentu dan kasus gigitan ular meningkat, KSRIC juga berkolaborasi dengan masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan tentang pencegahan gigitan ular, cara menangani ular, dan cara memberikan pertolongan pertama pada korban. Mereka juga melatih para petugas kesehatan bagaimana menangani gigitan ular dengan benar. [ab/uh]