Keuntungan ilegal yang diperoleh dari kerja paksa telah meningkat menjadi 236 miliar dolar AS, kata sebuah laporan PBB pada Selasa (19/3).
Menurut laporan itu, yang diluncurkan bersamaan dengan konferensi pers di Brussels oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO), eksploitasi seksual menjadi penyebab tiga per empat pendapatan migran yang diambil perusahaan yang seharusnya dapat dikirim ke tempat asal mereka, menghilangkan pekerjaan dari pekerja yang legal, dan memungkinkan penjahat di baliknya menghindari pajak.
Berbicara pada peluncuran laporan tersebut, anggota Parlemen Eropa asal Jerman, Bernd Lange mengatakan kerja paksa memiliki “dampak ekonomi serius”. Sementara itu Direktur Departemen Kondisi Kerja dan Kesetaraan ILO Manuela Tomei menyebut angka tersebut “memuakkan.”
“Ini setara dengan PDB negara-negara seperti Latvia atau Kroasia. Bahkan melampaui pendapatan perusahaan teknologi raksasa seperti Microsoft atau Samsung,” katanya. Ia menambahkan bahwa “di balik angka yang mengejutkan ini, ada penderitaan manusia.”
“Ada orang-orang yang terperangkap dalam siklus pelecehan, mengalami berbagai bentuk pemaksaan yang membuat mereka tidak mungkin melepaskan diri dari pekerjaan yang mereka lakukan di luar keinginan mereka,” katanya.
ILO mendefinisikan kerja paksa sebagai pekerjaan yang dilakukan di luar keinginan pekerja dan dilakukan di bawah hukuman atau ancaman dari seseorang. Ini dapat terjadi pada setiap fase pekerjaan: selama perekrutan, dalam kondisi kehidupan yang terkait dengan pekerjaan, atau dengan memaksa seseorang untuk tetap bekerja pada suatu pekerjaan yang ingin ditinggalkannya.
Dalam satu hari diperkirakan ada 27,6 juta orang yang menjadi pekerja paksa pada tahun 2021, naik 10 persen dari lima tahun sebelumnya, kata ILO. Kawasan Asia-Pasifik merupakan lokasi lebih dari separuh populasi tersebut, sedangkan Afrika, Amerika dan Eropa-Asia Tengah masing-masing mewakili sekitar 13 persen hingga 14 persen. [uh/ns]