IMF Peringatkan Perekonomian Global akan Hadapi Masa Sulit di 2023

Seorang warga tampak berjalan melewati barisan toko-toko, sebagian di antaranya masih tutup, di Wuhan, China, pada 10 Desember 2022, setelah pemerintah China melonggarkan pembatasan terkait COVID-19. (Foto: Reuters/Martin Pollard)

Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva, pada Minggu (1/1), mengatakan untuk sebagian besar ekonomi dunia, tahun 2023 akan menjadi tahun yang sulit karena mesin utama pertumbuhan global – yaitu Amerika Serikat, China dan Eropa – semuanya mengalami penurunan aktivitas.

Tahun baru ini akan menjadi “lebih sulit dibanding tahun yang kita tinggalkan,” ujar Georgieva dalam program berita CBS “Face the Nation.”

“Mengapa? Karena tiga ekonomi terbesar dunia – Amerika Serikat, China dan Uni Eropa – semuanya melambat secara bersamaan.”

BACA JUGA: Presiden Swiss Berjanji Atasi Kesulitan akibat Perang Ukraina 

IMF pada bulan Oktober lalu telah memangkas prospek pertumbuhan ekonomi global tahun 2023, yang mencerminkan terus berlanjutnya hambatan akibat perang Rusia di Ukraina, serta tekanan dari inflasi dan suku bunga tinggi yang ditetapkan oleh bank-bank sentral seperti Bank Sentral AS, guna meredam tekanan-tekanan harga yang muncul.

Sejak itu, China telah membatalkan kebijakan nol-COVID dan mulai menghidupkan kembali perekonomiannya yang kacau balau. Meskipun demikian, warga China tetap waspada ketika kembali terjadi lonjakan kasus baru COVID-19. Dalam pernyataan publik pertama pada Sabtu (31/12) lalu setelah mengubah kebijakan penanganan COVID-19, Presiden Xi Jinping menyerukan lebih banyak upaya dan persatuan ketika China memasuki “fase baru.”

“Untuk pertama kalinya dalam 40 tahun, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2022 berada pada atau di bawah pertumbuhan global,” ujar Georgieva. Selain itu perkiraan “perebakan luas” COVID-19 dalam beberapa bulan mendatang kemungkinan akan semakin memukul perekonomian China tahun ini dan menyeret pertumbuhan regional dan global, tambah Georgieva yang baru saja melangsungkan perjalanan ke China pada bulan lalu.

“Saya berada di China pekan lalu, di kota di mana tidak ada satu pun kasus COVID-19,” ujarnya seraya menambahkan “tetapi itu tidak akan bertahan lama begitu orang-orang mulai melakukan perjalanan.”

“Untuk beberapa bulan ke depan, akan sulit bagi China, dan dampaknya terhadap pertumbuhan China akan negatif, dampaknya terhadap kawasan akan negatif, dan dampaknya terhadap pertumbuhan dunia akan negatif,” tambahnya.

Dalam perkiraan Oktober lalu, IMF mematok pertumbuhan produk domestik bruto China tahun ini sebesar 3,2 persen atau setara dengan prospek global IMF tahun 2022. Pada saat itu, IMF juga memperkirakan pertumbuhan tahunan di China tahun 2023 akan mencapai 4,4 persen; sementara aktivitas global semakin melambat.

BACA JUGA: Pasar Sebagian Besar Naik Usai China Hapus Karantina Perjalanan 

Bagaimana pun juga pernyataan itu menunjukkan pemangkasan lain angka pertumbuhan China dan prospek pertumbuhan global ketika IMF biasanya mengeluarkan perkiraan yang telah diperbarui dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss.

Ekonomi AS “Paling Tangguh”

Georgieva mengatakan ekonomi Amerika Serikat berdiri terpisah dan dapat menghindari kontraksi langsung yang kemungkinan akan menimpa sepertiga perekonomian dunia.

“Amerika Serikat paling tangguh,” ujarnya dan “mungkin menghindari resesi. Kami melihat pasar tenaga kerja masih tetap kuat.”

Tetapi fakta itu sendiri menghadirkan risiko karena dapat menghambat kemajuan yang perlu dibuat Bank Sentral agar tingkat inflasi AS dapat kembali ke level yang ditargetkan, dari level tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Inflasi menunjukkan tanda-tanda telah melewati puncaknya saat berakhirnya tahun 2022, tetapi dengan ukuran yang disukai Bank Sentral maka inflasi tetap hampir tiga kali lipat dari target 2 persen.

“Ini adalah berkah campuran karena jika pasar tenaga kerja sangat kuat, Bank Sentral mungkin harus mempertahankan suku bunga lebih lama untuk menurunkan inflasi,” ujar Georgieva.

BACA JUGA: Xi: China Berada “Di Bagian Sejarah Yang Tepat” 

Tahun lalu, dalam pengetatan kebijakan paling agresif sejak awal tahun 1980an, Bank Sentral menaikkan suku bunga acuannya dari mendekati nol pada bulan Maret, ke kisaran saat ini yaitu 4,25 persen hingga 4,5 persen; dan pejabat Bank Sentral pada bulan lalu memproyeksikan suku bunga akan menembus 5 persen pada tahun 2023, sebuah level yang belum pernah terlihat sejak tahun 2007.

Pasar tenaga kerja AS merupakan fokus utama Bank Sentral yang ingin melihat permintaan tenaga kerja berkurang sehingga dapat membantu mengurangi tekanan harga.

Minggu pertama tahun baru membawa serangkaian data utama di bidang ketenagakerjaan, termasuk laporan bulanan yang diperkirakan akan menunjukkan keberhasilan Amerika Serikat membuka 200.000 lapangan pekerjaan lagi pada Desember lalu, sementara tingkat pengangguran tetap berada di kisaran 3,7 persen atau mendekati yang terendah sejak tahun 1960-an. [em/jm]