Indeks kerentanan radikalisme di Indonesia pada tahun 2011 adalah 43,6, menurun 1,44 dibanding pada tahun sebelumnya yang memiliki indeks 45,4. Meskipun demikian, statusnya masih rentan dan masih jauh di bawah tingkat aman yaitu pada level 33,3.
Indeks radikalisme ini diperoleh dari hasil penelitian kerentanan radikalisme terhadap 33 provinsi dengan jumlah responden sebanyak 4840. Indeks kerentanan radikalisme ini dirilis oleh Lazuardi Birru, Rabu (5/10) di Jakarta Media Center.
Lazuadi Birru merupakan LSM yang menyorot isu radikalisme dan terorisme serta menentang segala bentuk kekerasan atas nama agama. Ketua Lazuardi Birru, Dhyah Madya Ruth mengatakan penurunan indeks kerentanan radikalisme ini dikarenakan berkurangnya jumlah partisipasi dan dukungan dari masyarakat terhadap aksi-aksi radikal.
Hal ini, menurut Dhyah, adalah dampak positif dari berbagai upaya kontra radikalisme dan deradikalisasi yang intensif dilakukan pemerintah, media dan masyarakat.
"Indeks tindakan radikal itu menurun dari 24,7 menjadi 20,0 artinya pelaku dari tindakan-tindakan radikal itu berkurang. Kemudian indeks jihadisme itu juga berkurang dari 49,4 menjadi 45.9 artinya support masyarakat untuk pemahaman jihad atas jihad diimplementasikan sebagai kekerasan, tindakan mengangkat senjata dan mengorbankan diri sendiri itu berkurang signifikan. Dan Indeks selanjutnya yang tercatat menurun adalah dukungan terhadap organisasi radikal dari 49,8 menjadi 47.1", demikian ungkap Dyah.
Dari tiga indeks itu sebetulnya ada tujuh indeks lagi yang memang juga menurun tapi tidak signifikan. Komponen indeks kerentanan radikalisme terdiri dari tindakan radikal, sikap radikal, jihadisme, agenda islamis, dukungan terhadap organisasi radikal, keanggotaan organisasi radikal, alienasi, deprivasi, intoleransi terhadap non muslim, perasaan tidak aman dan perasan terancam.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai menyatakan intoleransi merupakan hal yang signifikan mempengaruhi seseorang bertindak radikal. Intoleransi ini juga kata Ansyaad yang memicu tindakan-tindakan terorisme.
"Kebanyakan pelaku teroris ini kira-kira prosesnya itu kalau seperti militer itu latihannya itu dia mulai dari ini. Anti kegiatan agama lain, anti pendirian rumah ibadah lain, itu selalu prosesnya begitu seperti pematangan begitu. Termasuk pematangan berhadapan dengan aparat. Dia tahu aparat tidak brutal seperti dulu, tidak main tangkap sementara mereka atas nama kebebasan mengemukakan pendapat, sampai membakar, merusak, itu tidak dikenakan tindakan apa-apa, akhirnya mereka berpikiran kenapa tidak sekalian mengebom", demikian pemaparan Ansyaad Mbai.
Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Azumardi Azra menyatakan menurunnya dukungan masyarakat terhadap organisasi dan tindakan radikal bukan hanya disebabkan oleh faktor yang ada di dalam negeri tetapi juga adanya faktor dari luar.
"Presiden Obama dalam pidatonya selalu menekankan semangat rekonsiliasi. Isyarat yang baik untuk dunia Islam bahwa Amerika tidak memusuhi Islam apalagi di Amerika sendiri banyak orang Islam dan telah memberi sumbangan untuk kemajuan peradaban Amerika. Ini faktor yang penting," kata Azumardi Azra.
"Sehingga kemudian kalau kita lihat aksi-aksi terorisme belakangan ini maka motif-motif Amerika tidak lagi muncul. Yang muncul itu lebih banyak terkait faktor-faktor dalam negeri meskipun faktor-faktor dalam negeri itu tidak terkait dengan kebijakan-kebijakan pemerintah," ujar mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah tersebut.
Ketua Lazuardi Birru, Dyah Madya Ruth menjelaskan dari 33 provinsi, terdapat tiga daerah yang paling rentan atau rawan tindakan radikalisme yaitu Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Jawa Barat dan Banten.