Independensi di tengah Kelindan Media dan Politik Indonesia

  • Nurhadi Sucahyo

Debat Pertama Capres 2024 oleh KPU RI menghadirkan ketiga calon presiden yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan Selasa (12/12) di Jakarta. (foto: ilustrasi/VOA-Indra Yoga)

Kelindan media dan politik di Indonesia seolah tak terhindarkan. Riset membuktikan, ada pemakluman terhadap fenomena ini, yang sebenarnya merugikan baik bagi sektor media maupun politik sendiri. 

Kurang dari dua bulan lagi, Pemilu untuk presiden dan legislatif akan diselenggarakan. Laksana lomba lari, setiap pihak yang bertarung berpacu dengan waktu untuk memperkenalkan diri. Dalam rentang waktu seperti inilah, pergulatan media dan politik menyita perhatian.

Di Lampung misalnya, muncul kecenderungan pengelola media dan politisi yang saling memanfaatkan. Edi Arsadad, Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Lampung mengakui ini menjadi salah satu “musim panen”. Ada beberapa skema yang biasa dijalin seperti pemasangan iklan, publikasi tulisan iklan tersamar, hingga yang lebih dalam dengan keikutsertaan jurnalis dalam tim pemenangan calon, atau bahkan menjadi Calon Legislatif (Caleg) itu sendiri.

“Kita memantau terus teman-teman yang tergabung di IWO seluruh kabupaten di Lampung ini. Saya sebagai ketua provinsi terus menyarankan teman-teman untuk independen, untuk tidak masuk dalam ranah politik. Kami minta teman-teman wartawan yang ikut dalam tim sukses atau mencalonkan diri untuk mundur dari dunia jurnalistik,” ujarnya ketika dihubungi VOA.

Tapi itu tidak mudah. Kata Edi, media daring tumbuh begitu cepat di Lampung karena begitu mudahnya membuat media baru. Proses rekrutmen jurnalis juga belum cukup baik. Ekosistem yang tidak sehat, mendorong sebagian jurnalis dekat atau mendekatkan diri dengan politisi. Ada bahkan media yang daring yang dibuat oleh pengurus partai, dan kemudian dikelola para jurnalis.

BACA JUGA: Jelang Pemilu 2024: Desa Antipolitik Uang dan Tanggapan Partai Politik

Di Nusa Tenggara Timur, Fabi Latuan juga mengisahkan cerita serupa.

“Dari keseharian itu, teman-teman ini kan banyak yang pengurus partai. Jurnalis juga pengurus partai, jadi kiblatnya sesuai partai yang dia jadi pengurus. Harusnya enggak boleh. Tapi rata-rata seperti itu. Bahkan banyak sekali jadi Caleg. Sudah pasti menulis tentang dirinya atau partainya sendiri,” ujar jurnalis di Koran Timor ini.

Fabi adalah Ketua Komunitas Wartawan Peduli Pembangunan, yang kerap mempertanyakan praktik semacam ini. Namun, situasinya terlalu sulit, terutama karena para jurnalis ini beraktivitas di media daring lokal yang dikelo mandiri. Lain cerita dengan jurnalis yang bekerja di media-media lokal besar atau media nasional, yang harus mengikuti aturan dan biasanya mengundurkan diri jika terjun ke politik.

Ini bukan fenomena baru, tetapi belakanan kondisinya semakin memprihatinkan. Tidak jarang, terjadi friksi di kalangan jurnalis sendiri, jika ada laporan yang menyudutkan partai atau calon tertentu. Bukan politisi yang protes kepada jurnalis bersangkutan, tetapi justru sesama jurnalis di lapangan, dengan alasan kedekatan pada salah satu partai, tambah Fabi.

BACA JUGA: Survei LSI: Ganjar-Mahfud Paling Berpotensi Berbuat Kecurangan Dibanding Pasangan Lain

Praktik Senada Pusat-Daerah

Cerita-cerita di media-media daerah semacam itu hanya gambaran kecil, bagaimana media dan politik saling jerat dalam kepentingan bersama. Namun, kelindan yang jauh lebih besar terjadi secara terbuka di tingkat nasional, dan sejauh ini seolah diterima sebagai sebuah kenyataan.

Guru besar komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Masduki belum lama mempublikasikan hasil riset, yang dilakukan lembaga Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2 Media). Masduki adalah direktur di lembaga tersebut.

Masduki mengatakan, Hary Tanoesoedibjo di MNC Group dan Surya Paloh di Media Grup, adalah contoh paling besar untuk menjelaskan fenomena ini. Semestinya, kata dia, jika media tidak bisa mengambil jarak dari politik, status itu dideklarasikan.

Guru Besar Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Prof Masduki. (Foto: dok pribadi)

“Kalau ada pemilik media, yang pada saat yang sama menjadi caleg, atau menjadi ketua partai, atau juga mungkin kepala daerah, maka dia harus melakukan deklarasi, atau disclaimer, ini yang paling gampang,” kata Masduki.

Dalam kasus MNC Group dan Media Group, seharusnya ada pernyataan terbuka bahwa media-media di bawah keduanya, terafiliasi dengan partai A atau partai B, lanjut Masduki.

“Silahkan masyarakat yang mengambil sikap. Kita, sebagai pemilih,” tambahnya.

Langkah ini, sebagai upaya transparansi infomasi dan transparansi kerja jurnalistik dianggap sebagai jalan tengah. Pilihan terbaik adalah pemisahan yang jelas, yang dimulai dari kesadaran, bahwa partai politik yang baik adalah partai yang steril dari afiliasia ke media. Apalagi, regulator dan organisasi media di Indonesia berulangkali menyatakan untuk menganut prinsip independen, obyektif, dan imparsial. Dalam kaitan dengan politik, salah satu syaratnya adalah ada pemisahan jelas struktur politik mulai dari pemilik sampai jurnalisnya.

Secara teori, hubungan media dan politik memiliki sejumlah bentuk. Dalam sejarahnya, di Indonesia partai politik pernah memiliki media resmi, seperti yang terjadi di era 1950-an. Bahkan hingga akhir era Orde Baru, Golkar memiliki koran Suara Karya. Di bidang penyiaran, praktik ini tidak diperbolehkan bahkan secara internasional karena frekuensi adalah milik publik.

Masduki mengungkap, ada juga model komersial partisan, media yang dimiliki kelompok usaha mandiri tetapi menyatakan diri mendukung partai tertentu.

“Di Jerman, sejumlah media di sana dikelola pebisnis murni, namun mengarahkan ideologi redaksinya pada satu partai tertentu,” kata Masduki yang menempuh doktoral di negara itu.

BACA JUGA: Kaum Muda dalam Pilpres 2024: Aspirasi atau Alat Meraih Kemenangan?

Model ketiga adalah media komersial yang non-partisan, tetapi dimiliki oleh politisi atau partai politik. Sedangkan terakhir, adalah media pemerintah sebagaimana RRI dan TVRI di Indonesia.

Jika dilihat dari model afiliasi, menurut penelitian PR2 Media yang didukung Internews dan USAID ini, ada empat klasifikasi di Indonesia. Pertama adalah afilisasi ekstrem.

“Kalau seorang pemilik media atau keluarganya sekaligus pemegang saham, kemudian komisaris, direksinya juga, tiba-tiba juga menjadi ketua partai. Tidak cukup, juga menjadi calon anggota DPR dan pada saat yang sama, punya afilisia dengan pejabat pemerintah di pusat atau daerah,” kata Masduki.

MNC Grup adalah contoh dari model ini, di mana Harry Tanoesoedibjo sebagai pemilik juga pengelola MNC, Ketua Perindo, saat ini menjadi caleg, anak tertuanya menjadi Wakil Menteri Pariwisata dan Ekraf, serta aktif menghimbau jurnalisnya maju sebagai caleg. Model semacam ini, bahkan diduga Masduki hanya ada di Indonesia.

Model kedua di bawah exstreme adalah strong, seperti yang terjadi di Media Group, di mana Surya Paloh sebagai pemilik dan pengelola juga menjadi Ketua Nasdem, anaknya Prananda Surya Paloh menjadi Ketua pemenangan Pemilu Nasdem dan anggota DPR 2019-2024, dan saat ini kembali menjadi caleg. Nasdem juga memiliki menteri di kabinet Jokowi.

Sedangkan model selanjutnya adalah moderate, yang tercermin dari seseorang yang ada di struktur penting di media, menjadi pengurus partai, caleg atau sedang menjabat sebagai anggota DPRD. Sedangkan terakhir adalah model weak, di mana banyak jurnalis menjadi caleg baik di DPR maupun DPRD.

Masalah yang Dianggap Bukan Masalah

Media massa sebenarnya diharapkan menjadi sumber informasi yang benar, independen, dan terverifikasi untuk publik. Peran itu semakin penting, di tengah ekosistem media sosial yang justru menjadi persoalan tambahan, karena potensinya untuk dijadikan alat kampanye.

Sekjen Aliansi Jurnalis Independen, Ika Ningtyas, dalam diskusi Data Journalism Hack: Menelisik Data Publik untuk Publik belum lama ini mengakui, independensi media saat ini masih jadi tantangan. Berkaca dari hasil riset PR2 Media, setidaknya, bisa dibaca bagaimana langkah para politisi yang menggunakan media untuk kepentingan-kepentingan politiknya.

“Artinya, di situasi yang sudah keruh di media sosial, ruang-ruang digital, peran media yang kita harapkan seharusnya lebih independen untuk bisa membawa kepentingan publik yang lebih luas, ini tercemar, dengan kepentingan-kepentingan politik praktis,” kata Ika.

Lembaga seperti Dewan Pers tidak henti meminta jurnalis dan media untuk bersikap independen, begitu juga dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan berbagai organisasi jurnalis.

Pekan lalu misalnya, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, dalam sebuah diskusi meminta pers untuk menjadi wasit yang mengedepankan nilai-nilai independensi yang objektif saat Pemilu. Himbauan serupa selalu disampaikan Dewan Pers dalam berbagai kesempatan, terutama karena pemilu tinggal beberapa pekan lagi.

Your browser doesn’t support HTML5

Independensi di tengah Kelindan Media dan Politik Indonesia

Dalam sebuah acara di Makasssar akhir pekan lalu, Ketua KPI Pusat Ubaidillah menyoroti peran penting lembaga penyiaran dalam menjaga kualitas informasi pemilu.

“KPI telah membuat sejumlah kebijakan, termasuk Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Kita juga melakukan koordinasi dengan KPU, Bawaslu, dan Dewan Pers melalui Gugus Tugas,” ujar Ubaidillah dalam rilis resmi lembaga tersebut.

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) juga tidak mau kalah. Ketua Umum PWI Pusat, Hendry Ch Bangun tegas meminta wartawan dan pers untuk menjaga netralitas dan independensi selama pesta demokrasi kali ini.

Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika, Nezar Patria. (foto dok. Kominfo)

Pemerintah di sisi lain mengaku sudah bersikap. Setidaknya, dari pernyataan Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika, Nezar Patria ketika berbicara pada kuliah tamu bertema Netralitas Media Pada Kampanye Politik tahun 2024: Fakta vs Utopia di Universitas Budi Luhur.

“Memang soal netralitas media ini akan menjadi diskusi yang cukup ramai dalam setiap pemilu, karena beberapa hal. Yang mempengaruhi netralitas media antara lain soal ownership. Saya kira pasti akan ramai dibicarakan, ownership terhadap industri media,” kata Nezar.

Seperti juga paparan penelitian PR2 Media, Nezar mengakui afiliasi para peserta pemilu dengan industri media menjadi fokus perhatian.

“Tetapi, dengan menjalankan satu code on conduct dan kode etik, serta merujuk pada peraturan-peraturan yang ada, saya kira persoalan ownership dan lain sebagainya itu, biasnya bisa lebih diminimalkan, atau setidaknya dijaga oleh publik, berdasarkan regulatory framework yang ada,” tambah Nezar.

Namun, kata Masduki, selama ini lebih banyak upaya perbaikan dilakukan di hilir, yaitu menyangkut laporan media atau konten-kontennya. Padahal di atas, situasinya juga tidak kalah bermasalah. Dia menilai, ada semacam penerimaan dari semua pihak, yang akhirnya menjadi pembiaran terutama terkait bagaimana para pemilik media merangkap politisi, ketua partai, dan caleg, sekaligus mendorong para jurnalis untuk mencalonkan diri berebut kursi.

“Kondisi ini seolah mengalami penormalan, sehingga kita merasa ini tidak masalah. Padahal ini masalah,” tandas Masduki. [ns/em]