Indonesia, sebagai tuan rumah KTT G20, masih belum mendapat kepastian apakah Presiden Rusia Vladimir Putin akan hadir, kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Kamis (3/11). Retno mengatakan itu sambil menambahkan bahwa perselisihan pendapat terkait Ukraina mempersulit persiapan pertemuan puncak itu.
Kepresidenan Indonesia untuk G20 tahun ini dan persiapannya untuk KTT 15-16 November di pulau Bali telah dibayangi oleh perang di Ukraina serta krisis pangan dan energi yang diakibatkannya. Dua puluh negara dengan ekonomi paling kuat di dunia yang tergabung dalam kelompok itu berselisih pendapat mengenai bagaimana cara menanggapinya.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan kepada Reuters dalam sebuah wawancara bahwa kehadiran Putin pada pertemuan itu mungkin baru diketahui pada menit-menit terakhir. "Mari kita tunggu sampai hari H-nya," katanya, ketika ditanya apakah kehadiran pemimpin Rusia itu telah dikonfirmasi.
Ketika Indonesia mulai menjabat sebagai ketua G20 pada bulan Desember, kekhawatiran terbesar adalah pemulihan dari pandemi virus corona, katanya, tetapi itu berubah dengan invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari.
Rusia menyebut tindakannya di Ukraina sebagai "operasi khusus" untuk melucuti senjata Ukraina dan memberantas fasisme. Ukraina dan Barat mengatakan tuduhan fasisme itu tidak berdasar dan bahwa perang adalah tindakan agresi yang tidak beralasan.
Sebagai tuan rumah G20, Indonesia telah berupaya keras untuk menjembatani perselisihan itu. Presiden Joko Widodo mengunjungi Kyiv dan Moskow pada bulan Juni dan mengundang Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiyy untuk menghadiri KTT tersebut.
Kehadiran Zelenskiyy belum dikonfirmasi tetapi Ukraina pada Selasa (2/11) menyerukan agar Rusia dikeluarkan dari G20 dan undangan Putin ke KTT Bali dicabut.
Ditanya soal seruan itu, Retno mengatakan itu bukan hak prerogatif ketua G20. "Kepresidenan tidak punya hak untuk mencabut keanggotaan, kecuali itu adalah konsensus dari negara-negara anggota G20," katanya.
Retno mengatakan beberapa negara telah mengambil pendekatan sederhana untuk masalah yang sangat kompleks, dan dalam beberapa kasus beberapa anggota kelompok itu membutuhkan waktu berhari-hari untuk menyepakati penggunaan satu kata.
"Ini sangat, sangat, sangat sulit," katanya tentang persiapan KTT. "Saya bisa katakan bahwa kepresidenan Indonesia kali ini, mungkin salah satu atau mungkin yang paling sulit dari semua G20 karena masalah geopolitik, ekonomi, dan lain-lain."
Kelompok tersebut telah gagal membuat komunike bersama pada beberapa pertemuan tahun ini, termasuk pertemuan para menteri luar negeri G20 pada bulan Juli.
Sebuah komunike bersama juga tampaknya tidak mungkin tercipta pada KTT mendatang. Menurut keterangan dua sumber diplomatik yang dirahasiakan namanya kepada Reuters, Indonesia saat ini malah sedang mempersiapkan "deklarasi para pemimpin".
Retno menolak untuk menjawab langsung pertanyaan tentang kemungkinan ada tidaknya komunike. Ia hanya mengatakan bahwa ia lebih peduli tentang substansi daripada dokumen akhir.
"Apapun namanya yang penting itu mengandung komitmen politik pemimpin. Bagi kami, lebih baik fokus pada konten. Pada akhirnya, konten berbicara lebih banyak," katanya.
Indonesia, yang ikut mengutuk pencaplokan Rusia atas empat wilayah Ukraina di Sidang Majelis Umum PBB Oktober lalu, telah menyatakan bahwa G20 harus fokus pada masalah ekonomi.
Retno mengatakan meski diskusi tentang perang Ukraina tak terhindarkan, G20 tetap "utuh". Di antara keberhasilan tahun ini, katanya, adalah dana untuk penanggulangan pandemi di masa depan yang telah mencapai $1,4 miliar, dengan kontribusi dari negara-negara seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. [ab/uh]