Dalam pidato yang disiarkan televisi secara nasional hari Rabu (21/9), Presiden Rusia Vladimir Putin menyampaikan ancaman akan menggunakan senjata nuklir dalam perang dengan Ukraina. Dia mengumumkan pula mobilisasi sekitar 300 ribu tentara cadangan dan warganya yang pernah menjalani latihan militer untuk diterjunkan ke Ukraina.
Menanggapi ancaman Putin itu, Presiden Amerika Joe Biden mengecam pernyataan Putin yang sembrono tersebut. Dia berjanji akan terus mendukung Ukraina dalam perang menghadapi Rusia.
Ketika ditanya mengenai ancaman Putin tersebut, juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah dalam jumpa pers, Kamis (22/9) mengatakan Indonesia dan negara-negara di dunia sangat berharap perang Rusia di Ukraina segera berakhir dan jangan sampai terjadi penggunaan senjata nuklir.
"Oleh karena itu, kita semuanya berharap tidak ada pengambilan keputusan yang kemudian menciptakan kehancuran karena penggunaan senjata nuklir dalam konflik. Sudah ada pengalaman di masa lalu bagaimana kehancuran ditimbulkan oleh senjata nuklir dalam Perang Dunia Kedua. Kita tidak ingin terjadi kehancuran serupa pernah dialami oleh masyarakat dunia di masa lalu," kata Faizasyah.
Pengamat Hubungan Internasional dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nanto Sriyanto menjelaskan ancaman penggunaan senjata nuklir di Ukraina oleh Putin akan membuat pemimpin negeri Beruang Merah itu kehilangan kredibilitas, bukan hanya di level internasional tapi juga di tingkat domestik dan hal ini sudah mulai kelihatan dengan banyaknya warga muda Rusia yang keluar dari negara itu dalam beberapa hari terakhir ini.
"Bentuk ancaman ini bukan semata harus dinyatakan kredibel atau tidak kredibel, apakah mungkin dilaksanakan atau tidak, tapi harus sudah sejak pertama dikatakan itu tidak boleh dilakukan. Secara moral harus ke sana jawabannya," ujar Nanto.
Nanto menambahkan meski banyak cadangan hulu ledak nuklir, upaya untuk membuat bom nuklir itu agar tidak digunakan harus semakin dominan. Juga harus ditegaskan bahwa pemakaian senjata nuklir dalam perang tidak bermoral.
Kemudian, lanjut Nanto, upaya-upaya damai dalam konflik harus lebih diutamakan. Menurutnya perlu sebuah terobosan untuk memaksa Rusia dan Ukraina berunding. Ancaman Putin itu, kata Nanto, bisa dikatakan sebagai bentuk kegusaran Putin terhadap Rusia yang makin terisolasi.
Teuku Rezasyah, pengamat dari Universitas Paramadina menilai ancaman Putin itu hanya berupa peringatan kepada dunia agar jangan main-main dengan Rusia. Meski demikian Rezasyah meyakini Rusia tidak akan melakukan hal tersebut karena ia memahami konsekuensi ledakan nuklir.
βDia mengerti bahwa sekali dia mengancam suatu negara dengan nuklir, itu yang namanya serangan balik itu tidak kalah dahsyatnya. Mungkin dia bisa meledakan suatu kota tetapi pada saat yang sama peluru kendali dari sekutu sudah terarah ke Rusia,β kata Rezasyah.
Indonesia, kata Rezasyah, bisa memainkan peranan dalam hal ini. Presiden Jokowi saat ini dapat menggalang solidaritas dengan negara-negara di dunia seperti negara-negara OKI dan GNB serta negara-negara lainnya untuk segera merancang sebuah resolusi PBB yang mencegah terjadinya perluasan sengketa Rusia ini.
Invasi Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari lalu belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Kedua pihak juga belum mau berunding lagi untuk mencari solusi damai terhadap konflik bersenjata tersebut.
Rusia yang telah dikenai sanksi ekonomi dan diplomatik dari beberapa negara, tetap bertahan tidak mau mundur. Upaya untuk meredakan ketegangan yang dilakukan sejumlah pemimpin dunia termasuk Presiden Joko Widodo, belum membuahkan hasil.[fw/em]