Helwana Fattoliya masih mengingat dengan jelas, bagaimana meriahnya acara sunatan yang digelar keluarga untuknya pada 1973 ketika dia berusia 7 tahun. Prosesi itu digelar atas perintah neneknya, sebagai tradisi yang mengakar dalam masyarakat setempat.
Pada akhir arak-arakan, Helwana sampai ke rumah dukun beranak yang juga biasa melakukan praktik sunat perempuan. Dia masuk ke sebuah bilik, yang digambarkan indah dan mewah. Namun, dalam bilik itu pulalah Helwana mengalami peristiwa yang memberinya trauma sepanjang hidup.
“Dilakukanlah sunat tersebut dengan menggunakan sebilah bambu yang sudah ditajamkan, diasah, yang sudah dilancipkan,” tutur Helwana.
Di tengah prosesi itu, Helwana mengalami perdarahan hebat dan pingsan. Peristiwa itu memberinya pengalaman buruk. Dia bahkan tidak berani menyantap sate, yang ditusuk dengan bilah bambu, takut duduk di bangku bambu, sejak peristiwa itu hingga saat ini. Helwana dan suami sepakat, enam putri mereka tidak akan menjalani praktik traumatis itu.
Helwana memberikan testimoni dalam seri diskusi upaya pencegahan Pelukaan dan Pemotongan Genitalia Perempuan (P2GP), yang diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Kamis (16/12).
“Dampak psikologis sunat perempuan ini bisa panjang," ujar Dr dr Febri Endra Budi Setyawan, pengajar di Program Studi Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Malang. Febri berbicara pada seri ketiga diskusi ini.
"Secara emosional, akan menggangu hubungan dengan pasangannya. Karena yang dilakukan pemotongan adalah organ yang sangat sensitif, maka kesensitifan dari organ akan sangat berkurang. Ini sangat mengganggu dan menjadi trauma mendalam bagi korban,” tambah Febri, Jumat (17/12).
Selain itu, Febri juga menyatakan, sunat perempuan tidak memiliki manfaat dari sisi kesehatan, bahkan akan menimbulkan infeksi.
“Kalau infeksi ini tidak tertangani dengan baik, pasti akan menjadi hal yang lebih dari itu, bisa terjadi abses, kalau tidak tertangani bisa menjadi sepsis. Dan bisa berakhir kematian, pada perempuan yang dilakukan sunat,” kata Febri.
BACA JUGA: Ribuan Orang Protes Mundurnya Turki dari Piagam PerempuanFebri menjelaskan, sunat perempuan umum di Afrika dan dilakukan untuk mempersiapkan anak perempuan dalam proses pernikahan dini. Di Indonesia, sebagian masyarakat turut melakukannya, dengan alasan budaya dan kebiasaan serta tradisi turun temurun.
Sudut Pandang Agama
Sunat perempuan adalah tradisi di sejumlah negara berpenduduk muslim, tetapi mayoritas muslim tidak mempraktikkannya. KH Arif Fahrudin, Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam seri kedua diskusi terkait P2GP menerangkan, dari empat madzab dalam agama Islam, hanya madzab Syafii yang mewajibkan sunat perempuan.
“Sementara bagi Hanafi dan Maliki, bagi laki-laki sunat itu sunnah muakadah, sedangkan sunat perempuan itu mukromah atau kearifan lokal pada saat itu. Untuk Hambali, sunat laki-laki itu wajib, sedangkan sunat perempuan juga mukromah,” kata Arif dalam diskusi seri kedua, Kamis (16/12).
Dari sisi agama, Arif menyebut konsensus di antara banyak fatwa ulama sebenarnya diperlukan terkait persoalan sunat perempuan. Saat ini, berbagai lembaga mengeluarkan beragam fatwa, yang redaksionalnya berbeda, tetapi sebenarnya memiliki substansi yang sama.
MUI sendiri memiliki fatwa, yang menitikberatkan pada batas praktik sunat perempuan.
“Kalau saya pribadi berpendapat, masalah khitan perempuan ini ahlinya adalah ahli medis. Urusan harus diserahkan ke ahlinya. Dari perspektif medis, sudah sangat jelas, bahwa tidak bisa dipertanggungjawabkan secara praktik medis. Maka dari itu, musyawarah ulama pesantren kemarin, berpegang pada prinsip ini,” tambah Arif.
Pendapat senada disampaikan ulama perempuan, Iffah Umniati Ismail, pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Sampang, Madura. Mengutip pendapat Lembaga Fatwa Mesir, Iffah menyebut bahwa di negara itu bahkan praktik ini telah diharamkan.
“Khitan perempuan sebagaimana praktik yang berlangsung dewasa ini, adalah tradisi yang diharamkan atas dasar hukum agama,” kata Iffah mengutip pernyataan lembaga fatwa Mesir yang dikeluarkan pada 3 Juli 2007.
Dipaparkan Iffah, Dr Muhammad Sayyid Thanthawi, grand syeikh Universitas al Azhar Mesir juga menyatakan, tentang sunat perempuan, tidak ditemukan teks agama yang valid atau otentik, yang dapat dijadikan argumen untuk khitan perempuan. Sedangkan Syeikh Yusuf al Qardhawi mengatakan, sunat perempuan adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan karena unsur bahaya.
Organisasi Bidan Menolak
Komunitas bidan di Indonesia juga telah lama menolak praktik ini. Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia, Dr Ade Jubaedah, bahkan menyebut, sunat perempuan adalah tindak kekerasan sejak dini.
“Tindak kekerasan ketika dilakukan sunat perempuan ini, terjadi bukan lagi pada saat perempuan itu dewasa, tetapi baru dia dilahirkan dari rahim ibu saja, itu sudah dilakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan,” ujar Ade, Jumat (17/12).
Ade mengingatkan, perdarahan dapat terjadi dari praktik ini. Apabila dilakukan oleh pihak yang tidak memahami perlunya peralatan steril, infeksi seperti yang dipaparkan Febri di atas, memang bisa terjadi. Bahkan, lebih jauh dari itu, bukan tidak mungkin perempuan yang disunat akan mengalami disfungsi seksual.
“Ini bisa sangat menjadikan trauma bagi perempuan, apalagi dilakukan dengan bambu. Kita membayangkannya saja sudah sangat miris. Apalagi melakukan,” tambah Ade.
Akibat Stereotipe Gender
Wakil Ketua Kalyanamitra, Rena Herdiyani, mengingatkan bahwa Indonesia memiliki kewajiban menghapus diskriminasi bagi perempuan.
“Indonesia sudah meratifikasi konvensi CEDAW, konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, melalui adopsi UU Nomor 7 Tahun 1984. Artinya, Indonesia memiliki komitmen internasional untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan,” kata Rena dalam diskusi ini.
Rena menyebut, pandangan stereotipe gender masih hidup di sebagian masyarakat. Cara pandang ini tidak memberikan batasan bagi perempuan terkait hak seksualitasnya, hak seksual, dan juga kesehatan reproduksi.
“P2GP ini jelas salah stau bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Karena perempuan dengan disunat, dianggap diredam hasrat seksualnya. Karena dianggap, perempuan yang memiliki hasrat seksual yang tinggi, itu distigma sebagai perempuan yang nakal, atau perempuan yang tidak pantas,” lanjut Rena.
Pemerintah Indonesia bersama Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Population Fund/UNFPA) telah menjalin kerja sama dalam dua tahun terakhir untuk mengakhiri praktik sunat perempuan.
Di seluruh dunia, ada lebih 200 juta perempuan menjadi korban praktik ini.
BACA JUGA: Sudan Kriminalisasi Praktik Sunat Perempuan“Untuk Afrika itu lebih parah lagi, karena dia bertambah hampir setiap tahun, kalau tidak salah 200 ribu,” kata Risya Ariani Kori, Gender Program Specialist di UNFPA
Afrika, di mana sunat perempuan dimulai, menjadikan praktik ini sebagai tradisi mempersiapkan perempuan menikah dini. Dalam kondisi pandemi, situasi akan menjadi lebih buruk, karena angka pernikahan anak turut naik. [ns/ka]