Pemerintah Indonesia sudah menunjukkan komitmen kuat untuk menyelesaikan berbagai masalah lingkungan hidup yang dihadapi. Tetapi komitmen itu dinilai tidak didukung oleh penerapan program yang sistematis sehingga akhirnya masyarakat harus berjuang sendiri. Masyarakat internasional dinilai bisa menekan pemerintah Indonesia dalam KTT Perubahan Iklim nanti.
“Tadinya masih beraktifitas seperti biasa, tetapi kabut asap makin lama makin tebal sehingga akhirnya sekolah dipulangkan. Ada yang diliburkan dua hari, ada pula yang satu minggu,” kata Aldi, warga Kalimantan Tengah yang wilayahnya diselimuti asap akibat kebakaran hutan dan lahan selama lebih dari tiga bulan tahun ini. Sedikitnya 24 orang tewas akibat kebakaran, asap dan penyakit terkait asap.
“Dulu orang buang sampah sembarangan salah, sekarang orang mau buang sampah di tempatnya, malah gak ada tempatnya,” kata Sri, ibu rumah tangga dengan empat anak di Bekasi, Jawa Barat yang kesal karena tempat pembuangan sampah akhir di daerahnya ditutup, sehingga para tukang sampah mogok kerja dan walhasil sampah pun menggunung dan mengundang penyakit.
Dalam beberapa tahun ini Indonesia memang menghadapi masalah lingkungan hidup yang sangat beragam. Mulai dari kebakaran hutan dan lahan, deforestasi, pertambangan terbuka, komersialisasi energi terbarukan, erosi dan salinisasi tanah, penangkapan ikan dengan sianida, jaring hantu dan bom ikan, hingga kekeringan, krisis pembuangan sampah dan terpinggirkannya masyarakat adat. Masyarakat bukannya tidak sadar dengan masalah ini, tetapi ketika berhadapan dengan isu lingkungan hidup itu, masyarakat selalu menemui jalan buntu.
Menurut aktivis lingkungan yang juga Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Abdon Nababan, meskipun ada niat atau komitmen pemerintah untuk memperbaiki keadaan, tetapi belum ada tindakan sistematis yang melibatkan semua kalangan.
“... Melihat persiapannya sejak tahun 2007, sebagai niat seharusnya INDC kita jauh lebih baik dibanding yang diserahkan Indonesia kepada PBB. Memang ada situasi pergantian pemerintahan, tetapi yang kedua, tidak ada satu tindakan yang sistematis, baik di pemerintahan lama di bawah SBY dan pemerintah baru di bawah Jokowi... Presiden Jokowi bisa jadi memiliki visi yang clear tentang itu, tetapi di level pemerintahan tidak dibangun penerjemahan dalam tingkat operasional yang sistematis,” kata Abdon.
Abdon mencontohkan bagaimana pemerintah Indonesia menyatakan dalam salah satu komitmen pengurangan emisi pada “Intended National Determined Contribution” INDC menyatakan akan menempatkan masyarakat adat sebagai ujung tombak, baik dalam proses mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim. Tetapi faktanya masyarakat adat dibiarkan berjuang sendiri.
“Masyarakat adat di Indonesia berjuang sendiri menyelamatkan hutan-hutan yang terbaik, merehabilitas wilayah adat yang sempat rusak. Di sisi pemerintah, meskipun di level presiden dan menteri sudah menyatakan komitmen untuk melindungi masyarakat adat, tetapi di lapangan tidak terjadi... Ini yang menjadi tantangan Inodnesia dalam perundingan internasional nanti, karena perubahan dalam bentuk reformasi hukum dan reorganisasi penyelenggaraaan negara hingga di tingkat lokal masih tidak cukup kuat," tambahnya.
Hal senada disampaikan Petrus Asuy, tokoh masyarakat adat Dayak Benuaq di Muara Tae, Jempang, Kalimantan Timur.
“Dalam perjuangan ini kami banyak mendapat beban... tapi kami berjuang terus karena jika kami tidak memperjuangkannya, tidak ada orang lain yang akan melakukannya,” katanya.
Untuk itu, menurut Abdon Nababan yang juga akan hadir dalam KTT Perubahan Iklim di Paris nanti, masyarakat internasional bisa memainkan peran penting guna mendorong upaya pemerintah melakukan reformasi hukum dan membenahi penyelenggaraan negara hingga di tingkat lokal yang melibatkan semua unsur masyarakat.
“... Jika memang diperlukan suatu langkah internasional untuk mendukung itu, pemerintah Indonesia harus menyampaikannya secara terbuka... Sebab jika Indonesia tidak didukung masyarakat internasional, sulit sekali mengendalikan perusahaan2 atau pihak ketiga yang menyebabkan masalah lingkungan hidup ini... Persoalan lingkungan hidup di Indonesia ini tidak hanya ditimbulkan oleh buruknya governance pengelolaan hutan dan lahan atau tidak adanya aturan hukum, tetapi juga karena buruknya struktur pasar global terhadap produk2 yang dihasilkan dari Indonesia. Misalnya pasar pulp & paper atau coil, atau palm. Memang Amerika dan Eropa punya standar, tapi Cina dan India khan belum. Jika yang memberlakukan standar itu PBB, tentu lebih berdampak karena berlaku untuk seluruh negara anggota. Maksud saya ini jangan hanya dilepaskan ke pasar, tetapi juga negara-negara anggota PBB juga mengorganisir suatu sikap bersama yang berlaku di seluruh dunia. Jangan sampai standar itu berlaku di Amerika dan Eropa, tetapi tidak berlaku di India dan Cina,” kata Abdon lagi.
Menyeimbangkan antara mitigasi dan adaptasi dalam upaya menangani perubahan iklim merupakan salah satu target KTT Perubahan Iklim di Paris, yang akan berlangsung hingga 11 Desember mendatang. [em/ii]