Dorongan Indonesia untuk membentuk ASEAN Maritime Outlook atau Pandangan Maritim ASEAN guna membuka kerjasama yang lebih luas antara ASEAN dengan negara-negara mitra wicaranya disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi seusai pertemuan APSC (Dewan Politik dan Keamanan ASEAN) di Pnom Penh, Kamboja, hari Kamis (10/11). Kerjasama maritim, tambahnya, harus menjadi masa depan yang menyatukan ASEAN dengan negara-negara mitranya, bukan memisahkan.
"Kita mengetahui potensi besar kontribusi kerjasama maritim untuk kesejahteraan di Indo Pasifik. Isu maritim sering hanya didekati dari perspektif keamanan secara sempit, sementara potensi kerjasama maritim, terutama di Indo Pasifik, sangatlah besar," kata Retno dalam rilis yang dikeluarkan Kemenlu.
Indonesia yang tahun depan mendapat giliran menjadi Ketua ASEAN akan menjadikan kerjasama maritim sebagai salah satu isu prioritas. Indonesia akan mendorong kerjasama praktis dan konkret antara ASEAN dengan negara-negara mitra wicaranya.
Your browser doesn’t support HTML5
Pada pertemuan APSC tersebut, Retno mengajak ASEAN mengarusutamakan unsur hak asasi manusia (HAM) dalam tiga pilar kerjasama ASEAN. Oleh karena itu ia mengusulkan Dialog HAM ASEAN dilaksanakan secara rutin dan terbuka dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, guna memperkuat mandat Badan HAM ASEAN atau ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR).
Kritik Pengamat
Menurut pengamat ASEAN dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Pandu Prayoga, usulan Indonesia mengenai Pandangan Maritim ASEAN itu bagus karena kerjasama maritim tersebut laut bukan sekadar berfungsi sebagai jalur pelayaran saja, tapi banyak sumber daya alam baik di permukaan dan di dalamnya.
"Cuma sayangnya yang menjadi keprihatinan kita bersama adalah kita suka mengeluarkan ide tapi terhenti di ide saja, tanpa kemudian mengejawantahkan dalam produk turunan kebijakan dan strategi," ujar Pandu.
Pandu mencontohkan Pandangan ASEAN atas Indo Pasifik, yang salah satu bagiannya adalah kerjasama maritim, dan menurutnya belum dilaksanakan maksimal. Atau konsep poros maritim dunia yang digagas Presiden Joko Widodo, yang juga tidak berjalan.
Menurutnya pemerintah sedianya memperkuat terlebih dahulu fondasi konsep negara maritim di dalam negeri, agar konsep-konsep yang dibuat untuk skala di luar Indonesia tidak hanya bagus di atas kertas tapi miskin penerapan. ASEAN selama ini, tambahnya, kuat di gagasan tetapi tidak di pelaksanaan sehingga ketika ingin menjadikan ASEAN sebagai poros maritim dunia misalnya, hak itu tidak bisa dilakukan karena kurangnya kekuatan ekonomi dan militer negara-negara ASEAN.
Pada praktiknya, ASEAN masih membutuhkan investasi China untuk memperkuat perekonomian, dan dukungan Amerika untuk memperkuat pertahanan keamanan. Alhasil, ASEAN masih bergantung pada negara lain.
Menurut Rizki Ramadhan, pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran, konsep Pandangan ASEAN terhadap Indo Pasifik sulit dibahas karena ada tarik menarik kepentingan antara Amerika Serikat dengan China. Belum lagi perbedaan kepentingan di antara negara-negara anggota ASEAN.
Ia memahami munculnya gagasan baru yang ditawarkan Indonesia yaitu Pandangan Maritim ASEAN, yang merupakan cara Indonesia untuk merumuskan ulang kepentingan-kepentingan Indonesia dalam konteks maritim dibandingkan harus terus berjuang untuk melaksanakan Pandangan ASEAN terhadap Indo Pasifik.
"Ketika posisi Indonesia sebagai ketua, akan lebih mudah untuk mengarahkan dan sedikit mempengaruhi keputusan konsensus ASEAN, mungkin dari materinya. Alhamdulillah, saya melihat Indonesia cukup jago untuk itu dalam konteks diplomasi KTT," tutur Rizki.
Secara konkret, lanjut Rizki, kerjasama maritim yang bisa dilakukan antara lain patroli laut bersama, biasanya dilanjutkan dengan kerjasama peningkatan kapasitas dan bantuan-bantuan teknis. [fw/em]