John Erwin Damanik, peternak babi di Simalungun, Sumatera Utara, mengakhiri tahun ini dalam kondisi prihatin. Dari 33 ekor babi yang dipeliharanya, tinggal satu ekor yang hidup. Serangan demam babi afrika atau African Swine Fever (ASF) yang melanda provinsi ini menjadi penyebabnya. John ingat, ternak di kandangnya mulai mati satu persatu, setelah sejumlah babi mati ditemukan teronggok di jalan tak jauh dari kampungnya.
“Kami tidak tahu itu babi dari mana. Karena ada juga dari tempat kami ini, agen pengumpul babi. Dia beli babi di suatu daerah dengan harga murah, dia bawa ke tempat kami. Rupanya sampai tempat kami, mati. Dan ada juga yang melihat itu mati, langsung ditikami (oleh) orang itu, darahnya berceceran di jalan. Dan dibuang begitu saja,” ujar John ketika dihubungi VOA.
BACA JUGA: Demam Babi Afrika Mewabah di Sumut, 30.000 Babi MatiSebagai peternak, John mengaku tidak menerima cukup informasi terkait penyakit yang diderita babi, baik itu kolera babi maupun ASF. Padahal dia membutuhkan pengetahuan terkait pencegahan, tanda-tanda serangan, dan penanganan ketika terjadi wabah. Sosialisasi yang dilakukan di lingkungan peternak sudah terlambat, karena mayoritas kandang sudah kosong.
Padahal, babi adalah tabungan bagi peternak seperti John Erwin Damanik. Dalam satu tahun, seekor indukan bisa melahirkan rata-rata hingga 20 anakan. Dengan harga jual mencapai Rp 700 ribu, seekor induk babi bisa memberi potensi penghasilan Rp 14 juta bagi peternak.
John belum tahu apa yang akan dilakukan setelah ini. Namun, dia mengaku pernah mengalami musibah serupa pada 1993. Ketika itu, dia kehilangan seluruh ternak babinya dan beralih ke ayam. Sekitar 2 tahun John berhenti memelihara babi, dan baru memulai lagi setelah yakin potensi serangan wabah hilang. Dia memperkirakan, jeda yang sama akan berlaku untuk wabah tahun ini.
“Sementara ini, kita biarkan satu ekor babi di kandang itu. Kalau dia bisa terus hidup, berarti kita nanti bisa beternak lagi,” tambah John Erwin Damanik.
Bali Aman dari Wabah
Selain Sumatera Utara, Bali adalah salah satu provinsi dengan populasi ternak babi tertinggi di Indonesia. Menurut data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, ada 890 ribu ekor ternak babi di sana.
Sejauh ini, Bali relatif terhindar dari serangan ASF. Untuk menjaga status itu, akses penularan sekecil apapun harus ditutup. I Made Robiana, peternak babi dari Payangan, Kabupaten Gianyar kepada VOA mengatakan, peternak berharap pemerintah tegas mengawasi peredaran babi, baik ternak, daging maupun produk olahannya.
“Bali tolong dihindarkan dari memasukkan babi hidup maupun daging babi. Jangan sampai masuk ke Bali. Karena di Bali ini, babi sudah menjadi budaya dan mata pencaharian ribuan peternak kecil, kan kasihan nanti. Babi di Bali populasi sudah melebihi, dan sudah mengirim ke luar pulau. Jadi, jangan sampai ada babi dari luar yang sampai ke Bali,” kata Robi.
Robiana menceritakan pada 1994, mereka pernah mengalami wabah kolera babi. Separuh dari populasi ternak mereka mati karena penyakit itu. Semenjak kasus tersebut, peternak di Bali menerapkan pola beternak lebih sehat, terutama dengan pemberian vaksin. Terhitung hingga tahun ini, Bali belum mengalami wabah serupa.
I Made Robiana sudah beternak selama 30 tahun dan kini memiliki 150 ekor indukan babi di halaman belakang rumahnya. Setiap bulan, dia bisa menjual 150-200 ekor anakan babi untuk dikembangkan oleh peternak lain. Sejak wabah menyerang di Sumatera Utara, Robi mengaku sudah ada dua sesi sosialisasi baik dari pemerintah maupun Gabungan Usaha Peternak Babi Indonesia (GUPBI) Bali. Dia menilai, peternak babi di Bali cukup memahami wabah yang menyerang, termasuk upaya vaksinasi dan pengelolaan kandang yang lebih sehat.
Karena menjadi bagian dari adat, di Bali dikenal istilah budaya memelihara babi. Di banjar atau desa tempat tinggal Robi, sekurangnya ada 303 kepala keluarga di mana 80 persennya memelihara babi di halaman belakang rumah mereka, meski jumlahnya rata-rata kurang dari 10 ekor. Dalam setahun, ada dua upacara adat di mana daging babi menjadi hidangan utama.
“Kami ada pembersihan kandang harian dan mingguan. Di peternakan yang kapasitasnya lebih banyak, sudah melakukan penyemprotan kandang rutin dengan disinfektan. Jadi menurut saya, peternak di Bali ini sudah sadar untuk kesehatan lingkungan kandang ternaknya,” tambah Robi.
Pemerintah Buka Posko
Kementerian Pertanian, melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) membentuk Posko Darurat dan Tim Gerak Cepat terkait penanganan ASF. Paparan tertulis disampaikan di laman resmi Kementerian Pertanian, oleh Dirjen PKH I Ketut Diarmita, 24 Desember 2019.
“Posko darurat telah dibentuk di semua tingkatan mulai dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, bahkan tingkat kecamatan. Saat ini jumlah posko di tingkat kecamatan sudah berjumlah 102 posko, hampir sesuai dengan jumlah kecamatan tertular,” jelas Ketut.
Kementerian Pertanian sendiri telah resmi mengakui kejadian ASF di Sumatera Utara melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) tertanggal 12 Desember 2019. Surat ini sekaligus menegaskan, penyebab utama kematian babi di sana adalah ASF. Ketut menambahkan, pengendalian ASF di Sumatera Utara dilakukan terintegrasi oleh tim gabungan antar instansi daerah, melibatkan Tim Gerak Cepat (TGC) Ditjen PKH, Balai Veteriner Medan, Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi, Dinas PU, Dinas Kesehatan dan juga Kepolisian.
“Salah satu permasalahan yang ditangani bersama TGC dengan kepolisian adalah penanganan bangkai babi yang dibuang ke sungai. Hal ini terjadi pada awal-awal kasus kematian babi di Sumut bulan Oktober 2019,” tambah Ketut.
Tim ini bergerak mencegah pembuangan bangkai babi dan mengawasi lalu lintas ternak babi serta produknya, sosialisasi dan bimbingan teknis tentang ASF. Pemerintah menganggarkan dana Rp 5 miliar untuk operasional lapangan.ASF sendiri telah menjangkit di 16 kabupaten/kota di Sumatera Utara. Berdasarkan data Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional (ISIKHNAS), sampai minggu ke-2 Desember 2019, total kematian ternak babi di sana mencapai 28.136 ekor.
Isolasi Tanpa Toleransi
Pakar ternak babi dari Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran, Bandung, Sauland Sinaga menilai pemerintah lambat bertindak. Serangan ASF terdeteksi sejak Oktober, namun pernyataan resmi baru keluar pada pertengahan Desember. Padahal sejumlah negara eksportir babi bertindak jauh lebih cepat.
Sauland merekomendasikan beberapa langkah yang harus diambil. Salah satu yang terpenting adalah isolasi. Babi dari Sumatera Utara jangan sampai keluar wilayah. Tidak boleh ada babi, daging babi dan produk turunan yang menyeberang pulau. Begitupun dikawasan produsen lain, seperti Jawa, Bali, NTT dan Sulawesi Utara.
Isolasi total juga bermakna siapapun, peternak bahkan jurnalis tidak bisa berkunjung ke kandang babi yang berbeda dalam satu kesempatan. Alasannya, karena pakaian bisa menjadi media penular virus.
“Virus itu bisa bertahan dua minggu, di baju, di sepatu. Karena kita latah, ada babi mati malah dikeroyokin. Mati.., hai.. mati..., jadi silaturahmi penyakitnya di situ. Wartawan, tukang obat, aparat dinas, setelah kunjungi satu kandang, kalau mau ganti baju, ganti sepatu baru ke kandang lain, harus beda baju dan sepatu. Atau dibereskan di warung kopi, pertemuannya jangan di kandang, di warung kopi saja,”ujar Sauland.
Langkah kedua adalah pemerintah sebaiknya membeli semua babi yang sakit. Dengan skema pembelian itu, peternak yang menemukan babinya sakit akan tergerak untuk melapor. Petugas kemudian mengambil ternak sakit itu dan mengubur secepatnya. Dengan begitu, penyakit dapat dibatasi ruang geraknya. Selama ini, tidak ada skema ganti rugi, sehingga peternak membuang begitu saja babi yang sakit dan menyebabkan penularan luar biasa. Indonesia, kata Sauland harus berani mencontoh Vietnam yang mengorbankan hingga 6 juta ekor babi untuk mencegah dampak lebih buruk.
Untuk peternak, pemerintah juga harus memberikan alternatif karena setidaknya dalam dua tahun ke depan dia tidak bisa lagi beternak babi. Dengan bantual modal, peternak bisa beralih ke ayam atau kambing sementara waktu.
Tidak kalah penting adalah melawan hoax soal bahaya daging babi yang menurunkan tingkat konsumsi. Sumatera Utara, ujar Sauland, memiliki populasi 1,2 juta ekor babi dan mengonsumsi sekitar 50 ribu ekor setiap bulan. Hoax bahwa ASF bisa menular ke manusia membuat harga daging babi anjlok dan merugikan peternak dua kali. Karena itu, pemerintah harus mampu menjaga tingkat konsumsi ini, untuk mengembalikan kepercayaan diri peternak.
Your browser doesn’t support HTML5
“Yang dilakukan pemerintah Bali sudah betul. Isolasi harus tegas. Semua sisa makanan dari pesawat dan kapal pesiar, harus dimusnahkan di bandara atau pelabuhan. Jangan sampai masuk dan menjadi pakan babi,” kata Sauland yang juga pembina Asosiasi Peternak Babi (Asperba) Indonesia.
Sauland mengingatkan, peternak babi seharusnya menikmati hasil besar pada Natal, Tahun Baru dan Imlek, yang berurutan hingga Februari nanti. Namun, ASF telah menghancurkan tradisi panen peternak itu. Karenanya, pemerintah harus serius mencegah penyebaran sebab dunia belum memiliki vaksin untuk ASF. Kampanye konsumsi aman daging babi juga akan turut membantu, terutama di kawasan terdampak seperti Sumatera Utara.
Tidak kalah penting, tambah Sauland, Indonesia harus memberi respons lebih baik terkait wabah penyakit ternak. Aturan sudah banyak dibuat, ujarnya, namun penerapannya yang masih harus terus didorong. [ns/uh]