Pemerintah didesak untuk segera meratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional untuk mencegah terjadinya kejahatan kemanusiaan.
Pada Peringatan Hari Keadilan Internasional Sedunia yang jatuh pada 17 Juli, sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Mahkamah Pidana Internasional mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional pada tahun 2013.
Juru bicara Koalisi, Bhatara Ibnu Reza, kepada wartawan di Jakarta mengatakan ratifikasi Statuta Roma ini sangat penting untuk mencegah kembali terjadinya kejahatan kemanusiaan seperti yang terjadi pada masa lalu.
Ratifikasi tersebut, kata Bhatara, juga untuk mendorong perbaikan mekanisme pengadilan nasional dan juga merupakan wujud dari komitmen Indonesia untuk reformasi regulasi yang memperkuat perlindungan HAM.
“Kami mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan ratifikasi karena ini kepentingan kita bersama. Saya rasa ini merupakan kegiatan mendesak dan sekaligus juga untuk memutus rantai impunitas. Saya yakin kalau kita [Indonesia] lewat lagi [dalam meratifikasi Statuta Roma] maka sekali lagi komitmen Indonesia dipertanyakan. Dan kalau komitmen Indonesia dipertanyakan itu bukan berarti kepentingan asing,” ujar Batara.
Selama ini menurut Bhatara terdapat kekhawatiran di kalangan pemerintah bahwa dengan meratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional maka akan ada intervensi internasional terhadap proses hukum dan proses pengadilan Indonesia.
Menurut Bhatara kekhawatiran itu jelas tidak mungkin terjadi karena kalaupun Indonesia menjadi negara pihak dari Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court, ICC) , maka tetap ICC tidak dapat secara bebas masuk dalam sistem hukum Indonesia.
Mahkamah Pidana Internasional kata Bhatara bertindak ketika negara tidak mau dan tidak mampu melaksanakan kewajiban penghukuman terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan.
Bhatara menambahkan pemerintah sebetulnya berencana akan meratifikasi Statuta Roma pada 2008 lalu, tapi hal itu urung dilaksanakan karena adanya ketidaksetujuan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Mahkamah Pidana Internasional itu beranggotakan diantaranya Elsam, Imparsial, KontraS, Ikohi dan Demos.
Aktivis HAM dan mantan Koordinator KontraS, Usman Hamid, menegaskan Mahkamah Pidana Internasional tidak dimaksudkan untuk kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelum 1 Juli 2002.
Kepala Direktorat Kerjasama Internasional Kementerian Hukum dan Ham Dhahana Putra membantah adanya ketidaksetujuan dari TNI terkait dengan belum diratifikasinya Statuta Roma oleh Indonesia.
Ratifikasi tersebut menurut Dhahana saat ini sudah masuk dalam rencana aksi nasional hak asasi manusia (RANHAM) periode 2011- 2014, dan diharapkan pada 2013 ratifikasi tentang Mahkamah Pidana Internasional sudah bisa dilakukan.
“Pelangar dan pelaku pelanggaran HAM berat itu harus ada proses pemeriksaan karena memang kita sebagai negara hukum, penegakan hukum harus dilakukan. Berkaitan dengan harmonisasi perundang-undangan ini juga salah satu agenda dalam RANHAM,” ujarnya.
Sementara itu Anggota Komisi Pertahanan dan Luar Negeri DPR, Sidarto Danusubroto mengungkapkan pihaknya sangat mendukung ratifikasi Statuta Roma oleh Indonesia. Ia mengatakan agar tujuan peratifikasian Statuta Roma bagi penegakkan hukum HAM di Indonesia tercapai, maka ratifikasi tersebut harus segera diikuti dengan pengesahan aturan implementasi dari Statuta Roma.
Menurutnya hal ini penting agar aturan-aturan dalam Statuta Roma bisa segera berlaku efektif menjadi bagian dari hukum nasional di Indonesia.
Juru bicara Koalisi, Bhatara Ibnu Reza, kepada wartawan di Jakarta mengatakan ratifikasi Statuta Roma ini sangat penting untuk mencegah kembali terjadinya kejahatan kemanusiaan seperti yang terjadi pada masa lalu.
Ratifikasi tersebut, kata Bhatara, juga untuk mendorong perbaikan mekanisme pengadilan nasional dan juga merupakan wujud dari komitmen Indonesia untuk reformasi regulasi yang memperkuat perlindungan HAM.
“Kami mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan ratifikasi karena ini kepentingan kita bersama. Saya rasa ini merupakan kegiatan mendesak dan sekaligus juga untuk memutus rantai impunitas. Saya yakin kalau kita [Indonesia] lewat lagi [dalam meratifikasi Statuta Roma] maka sekali lagi komitmen Indonesia dipertanyakan. Dan kalau komitmen Indonesia dipertanyakan itu bukan berarti kepentingan asing,” ujar Batara.
Selama ini menurut Bhatara terdapat kekhawatiran di kalangan pemerintah bahwa dengan meratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional maka akan ada intervensi internasional terhadap proses hukum dan proses pengadilan Indonesia.
Menurut Bhatara kekhawatiran itu jelas tidak mungkin terjadi karena kalaupun Indonesia menjadi negara pihak dari Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court, ICC) , maka tetap ICC tidak dapat secara bebas masuk dalam sistem hukum Indonesia.
Mahkamah Pidana Internasional kata Bhatara bertindak ketika negara tidak mau dan tidak mampu melaksanakan kewajiban penghukuman terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan.
Bhatara menambahkan pemerintah sebetulnya berencana akan meratifikasi Statuta Roma pada 2008 lalu, tapi hal itu urung dilaksanakan karena adanya ketidaksetujuan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Mahkamah Pidana Internasional itu beranggotakan diantaranya Elsam, Imparsial, KontraS, Ikohi dan Demos.
Aktivis HAM dan mantan Koordinator KontraS, Usman Hamid, menegaskan Mahkamah Pidana Internasional tidak dimaksudkan untuk kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelum 1 Juli 2002.
Kepala Direktorat Kerjasama Internasional Kementerian Hukum dan Ham Dhahana Putra membantah adanya ketidaksetujuan dari TNI terkait dengan belum diratifikasinya Statuta Roma oleh Indonesia.
Ratifikasi tersebut menurut Dhahana saat ini sudah masuk dalam rencana aksi nasional hak asasi manusia (RANHAM) periode 2011- 2014, dan diharapkan pada 2013 ratifikasi tentang Mahkamah Pidana Internasional sudah bisa dilakukan.
“Pelangar dan pelaku pelanggaran HAM berat itu harus ada proses pemeriksaan karena memang kita sebagai negara hukum, penegakan hukum harus dilakukan. Berkaitan dengan harmonisasi perundang-undangan ini juga salah satu agenda dalam RANHAM,” ujarnya.
Sementara itu Anggota Komisi Pertahanan dan Luar Negeri DPR, Sidarto Danusubroto mengungkapkan pihaknya sangat mendukung ratifikasi Statuta Roma oleh Indonesia. Ia mengatakan agar tujuan peratifikasian Statuta Roma bagi penegakkan hukum HAM di Indonesia tercapai, maka ratifikasi tersebut harus segera diikuti dengan pengesahan aturan implementasi dari Statuta Roma.
Menurutnya hal ini penting agar aturan-aturan dalam Statuta Roma bisa segera berlaku efektif menjadi bagian dari hukum nasional di Indonesia.