Tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia mencapai sekitar 4 persen atau 10,8 juta jiwa saat ini. Presiden Joko Widodo meminta angka itu turun drastis menjadi nol pada 2024 sehingga kemiskinan di Tanah Air berhasil dientaskan.
Salah satu provinsi dengan kemiskinan ekstrem cukup tinggi adalah Jawa Tengah. Data yang ada menyebut, jumlahnya lebih dari 1,5 juta jiwa. Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Kamis (7/10) datang ke Semarang, untuk membahas persoalan ini.
Hingga akhir tahun ini, pemerintah pusat memusatkan upaya pengentasan kemiskinan ekstrem di Jawa Tengah di lima kabupaten, yaitu Brebes, Banyumas, Pemalang, Banjarnegara dan Kebumen.
“Karena target kita (pada) 2024 kemiskinan ekstrem Indonesia sudah nol persen, sesuai dengan arahan Bapak Presiden. Seluruhnya ada 212 kabupaten yang harus kita selesaikan. Untuk 2021 ini, dipusatkan di 35 kabupaten di tujuh provinsi, salah satunya di Jawa Tengah,” ujar Amin di Semarang.
Pertemuan dengan pemerintah daerah, lanjut Amin, diharapkan menjadi ajang sinkronisasi data dan penanganan. Begitu pula dengan pemilahan anggaran, baik pusat, provinsi maupun kabupaten. Amin juga berharap, dana untuk mengatasi kemiskinan ekstrem ini datang dari bantuan sosial kemasyarakatan perusahaan swasta, kegiatan filantropi, hingga lembaga amal keagamaan seperti Baznas.
Di sisi lain, pemerintah juga menggenjot Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), karena meyakini mampu membantu upaya menekan kemiskinan ekstrem.
“Pemerintah menggunakan dua pendekatan. Pertama perlindungan sosial melalui Bansos dan kedua melakukan pemberdayaaan, yaitu melalui pengembangan UMKM di daerah,” kata Amin.
Langsung Bentuk Satgas
Sehari setelah didatangi Ma’ruf Amin, Jawa Tengah langsung membentuk Satuan Tugas (Satgas), pada Jumat (8/10). Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, menyebut Satgas bekerja untuk menyelesaikan kemiskinan ekstrem di lima daerah yang disebut Wapres.
Di lima daerah itu, ada 27 ribu lebih warga akan menjadi sasaran program hingga Desember 2021.
“Kita sudah siapkan. Ada 27 ribu lebih, sudah masuk dalam data kita. Besok verifikasinya selesai, besok malam dipaparkan ke saya. Perintah Pak Wapres kemarin agar mereka yang masuk kategori miskin ekstrem itu segera bisa kita tangani,” ujar Ganjar di Semarang, Jumat (8/10).
Verifikasi diperlukan untuk memastikan intervensi yang dilakukan tepat. Pemerintah sendiri sudah membuat pedoman untuk mengklasifikasikan warga yang berada dalam kemiskinen ekstrem.
“Intervensinya sudah kita siapkan. Kalau dari sisi pengeluaran, maka kita tekan. Kalau dari sisi pendapatan, maka dia harus bekerja. Dari sisi rumah, listrik, tempat BAB atau jamban, sumber air bersih. Ini intervensi cepat harus kita lakukan,” papar Ganjar.
Satgas khusus diperlukan untuk melakukan percepatan program. Ganjar mengaku khawatir pemerintah di lima kabupaten ini belum siap, dan karena itu membutuhkan bantuan.
Your browser doesn’t support HTML5
Menurut data yang ada, secara keseluruhan angka kemiskinan ekstrem di Jawa Tengah ada di kisaran 1,5 juta jiwa. Jumlah itu berasal dari 35 kabupaten dan kota di provinsi tersebut, tidak hanya di lima kabupaten yang ditangani di awal. Tahun depan penanganannyq akan menyentuh wilayah lain.
"Tapi saya ingatkan, bahwa penanganan harus pararel. Sekarang kan sedang menyusun RAPBD 2022, saya minta itu dimasukkan agar berlanjut,” tambahnya.
Pendapatan Rp12 Ribu Sehari
Salah satu kementerian yang bertugas dalam program ini, adalah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Menteri Desa PDTT, Halim Iskandar menyebut pemerintah memakai data Badan Pusat Statistik terkait penggolongan warga dalam kemiskinan ekstrem.
“Merujuk pada pengukuran global yang dilakukan Bank Dunia, penghasilan di bawah purchasing power parity setara dengan $1,99 per kapita, atau kalau dihitung hari ini untuk Indonesia kurang lebih Rp12 ribu per kapita per hari,” kata Halim dalam penjelasan kepada media, Rabu (6/10).
Terkait nilai tukar yang tidak sepadan antara dolar dan rupiah di atas, menurut Halim karena pemerintah mempertimbangkan adanya konversi harga barang-barang. Misalnya, harga makanan di Amerika Serikat dibandingkan dengan harga di Indonesia.
Dengan ketetapan itu, maka mereka yang berpenghasilan di bawah Rp12 ribu per hari di Indonesia, masuk dalam kelompok masyarakat dengan kemiskinan ekstrem.
Halim mengklaim seiring pemutakhiran data di desa yang masih terus berjalan, data penghasilan warga juga masuk di dalamnya. Karena itulah, siapa saja yang miskin ekstrem, datanya tersedia.
“Kenyataan di lapangan sudah bisa kita temukan, warga miskis ekstrem, by name by address. Bisa dicermati betul masalahnya apa, kondisi seperti apa, tempatnya di mana dan intervensi apa yang bisa dilakukan,” kata Halim.
Pemerintah menggolongkan warga miskin ekstrem dalam dua kelompok. Pertama, adalah mereka yang memiliki hampir seluruh kompleksitas multidimensi kemiskinan.
“Semua atribut kemiskinan itu nempel. Misalnya miskin, lansia, sendirian. Ini banyak di desa-desa. Lalu tidak bekerja, mungkin karena difabel atau tua. Sudah begitu memiliki penyakit kronis dan menahun, dan diikuti kondisi rumah tidak layak huni dan tidak memiliki fasilitas air bersih dan sanitasi yang memadai,” papar Halim.
Untuk kelompok ini, pemerintah tidak menerapkan kebijakan pemberdayaan. Negara akan hadir agar kelompok ini sehat, tercukupi kebutuhan sehari-hari dan bahagia. Pemberdayaan baru akan diterapkan pada kelompok kedua, yaitu jika warga miskin itu berusia 15-64 tahun, tidak memiliki penyakit menahun dan bukan difabel. Pendeknya, dia masih memiliki kemampuan untuk bekerja. [ns/ah]