Indonesia, Jumat (27/10) melakukan penerbangan komersial pertamanya menggunakan bahan bakar jet yang dicampur dengan minyak sawit atau bioavtur.
Penerbangan ini merupakan bagian dari upaya Indonesia, sebagai produsen sawit terbesar di dunia, dalam mendorong penggunaan bahan bakar nabati atau biofuel secara lebih luas untuk mengurangi impor bahan bakar.
Dioperasikan oleh maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia, pesawat Boeing 737-800NG membawa lebih dari 100 penumpang dari Jakarta ke Solo yang berjarak sekitar 550 kilometer, kata CEO Garuda Indonesia Irfan Setiaputra.
“Kami akan berdiskusi lebih lanjut dengan Pertamina, Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), dan pihak lain untuk memastikan bahan bakar ini layak secara komersial,” kata Irfan dalam upacara seraya menambahkan bahwa pesawat tersebut rencananya akan kembali ke Jakarta pada Jumat malam.
Garuda melakukan beberapa tes termasuk uji penerbangan bahan bakar baru tersebut awal bulan ini dan uji darat mesin pada Agustus.
Bahan bakar jet campuran minyak sawit ini diproduksi oleh Pertamina di kilang Cilacap, menggunakan teknologi HEFA (hydroprocessed esters and fatty acid) dan terbuat dari minyak inti sawit yang telah dimurnikan dan dihilangkan baunya.
Pertamina mengatakan bahan bakar berbahan dasar kelapa sawit mengeluarkan lebih sedikit gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan atmosfer dibandingkan dengan bahan bakar fosil, dan negara-negara produsen minyak kelapa sawit telah menyerukan agar minyak nabati itu dimasukkan dalam bahan baku produksi bahan bakar penerbangan berkelanjutan (SAF).
“Pada tahun 2021, Pertamina berhasil memproduksi SAF jenis 2.0 di unit Cilacap dengan menggunakan teknologi co-processing dan terbuat dari minyak inti sawit olahan yang telah dimurnikan dan dhilangkan baunya dengan kapasitas produksi 1.350 kiloliter per hari,” kata Alfian Nasution, Direktur Pertamina.
Sementara itu, Harris Yahya, Direktur Panas Bumi di Kementerian ESDM mengatakan penggunaan biofuel akan menurunkan efek rumah kaca.
Industri penerbangan, yang merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar, sedang mencari cara untuk mengurangi jejak karbonnya dengan menggunakan bahan bakar alternatif.
Para ahli mengatakan industri ini akan membutuhkan 450 miliar liter SAF per tahun pada 2050, jika bahan bakar tersebut ingin dianggap berkontribusi sekitar 65 persen dalam upaya mitigasi mencapai target net-zero.
Namun beberapa negara telah menyampaikan kekhawatirannya mengenai potensi deforestasi dalam produksi minyak sawit dari perkebunan. Uni Eropa telah memberlakukan pembatasan impor terhadap komoditas tersebut.
Pada 2021, Indonesia melakukan uji terbang dengan bahan bakar yang sama pada pesawat buatan Dirgantara Indonesia. Pesawat itu terbang dari kota Bandung, Jawa Barat, menuju ibu kota Jakarta.
Indonesia telah memerintahkan pencampuran biofuel sebesar tiga persen pada bahan bakar jet selambatnya pada 2020, tetapi implementasinya tertunda. [ab/uh]