Indeks ini digunakan untuk melihat pemulihan masyarakat dari akibat letusan gunung berapi dalam hal infrastruktur, perumahan, ekonomi, sosial dan lintas sektor.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Rabu (26/11) meluncurkan indeks pemulihan bencana yang mengukur pertumbuhan pemulihan pada kelompok-kelompok masyarakat yang terdampak oleh letusan Gunung Merapi pada 2010 dan banjir lahar tahun 2012.
Sebanyak 1.290 keluarga yang terdampak langsung maupun tidak langsung dan menerima bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi sampel survei yang dilakukan di 43 dusun di Magelang (51 persen), Sleman (26 persen), Klaten (14 persen dan Boyolali (9 persen).
Wakil Kepala BNPB Bambang Sulistianto mengatakan indeks ini menggunakan 22 variabel untuk melihat bagaimana masyarakat berangsur-angsur pulih dari akibat letusan gunung berapi dalam hal infrastruktur, perumahan, ekonomi, sosial dan lintas sektor.
Hasilnya, lanjut Bambang, perumahan merupakan sektor yang paling cepat pulih. Rumah-rumah penyintas yang rusak parah dalam waktu dua tahun sudah bisa pulih seperti sebelum bencana, ujarnya. Sementara itu, tambahnya, sektor ekonomi produktif dan infrastruktur lebih lambat untuk pulih.
Secara keseluruhan, Indeks Pemulihan Bencana tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Magelang dengan poin 33.83 melesat jauh di depan kabupaten lain dalam pemulihan setelah bencana, diikuti oleh Sleman (29.47 poin), Boyolali (23.51 poin) dan Klaten (13.83 poin).
“Merapi juga mengambil pengalaman di Sumatera Barat. Contoh di Sumatera Barat, pemerintah memberi 10 ekor ayam sebagai bagian program ekonomi produktif. Ternyata 10 ekor ayam itu tidak bertambah karena setiap hari dipotong karena kebutuhan korban kurang,” ujarnya.
“Kebutuhan ekonomi produktif jangan sampai terlalu kecil, jangan sampai tidak ada hasilnya. Jadi jangan dikasih lalu dilepas saja tetapi harus dibimbing. Setelah kita melihat hasil survei ini bahwa ekonomi produktif yang paling rendah artinya kita harus fokus ke sana.”
Indeks pemulihan bencana yang dibuat BNPB bekerja sama dengan forum pengurangan risiko bencana dari Yogyakarta dan Jawa Tengah serta Badan PBB untuk pembangunan (UNDP) ini baru pertama kali ada di dunia.
Menurut Bambang, Indeks Pemulihan Bencana ini menjadi alat yang bisa digunakan untuk membantu pemerintah dan para pemangku kepentingan, agar lebih bisa memahami tantangan-tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dan indivudu-individu ketika mereka berusaha untuk kembali pulih setelah bencana.
Kepala Bagian Pencegahan dan Pemulihan Bencana dari Badan PBB untuk Pembangunan (UNDP), Krisnanto Sinandang mengatakan, peluncuran Indeks Pemulihan Bencana itu memang sangat penting bagi Indonesia yang sangat rawan bencana.
Dia menilai pemerintah Indonesia memiliki komitmen yang sangat kuat dalam masalah pengelolaan atau manajemen bencana.
“Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup aktif, proaktif untuk mendorong perubahan paradigma dari yang aktif, responsif lebih kepada proaktif, preventif. Jadi sebelum terjadi bencana banyak hal yang harus dilakukan, investasi-investasi yang harus dilakukan untuk supaya tidak hanya menunggu bencana baru kita kelabakan,” ujarnya.
Sebanyak 1.290 keluarga yang terdampak langsung maupun tidak langsung dan menerima bantuan rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi sampel survei yang dilakukan di 43 dusun di Magelang (51 persen), Sleman (26 persen), Klaten (14 persen dan Boyolali (9 persen).
Wakil Kepala BNPB Bambang Sulistianto mengatakan indeks ini menggunakan 22 variabel untuk melihat bagaimana masyarakat berangsur-angsur pulih dari akibat letusan gunung berapi dalam hal infrastruktur, perumahan, ekonomi, sosial dan lintas sektor.
Hasilnya, lanjut Bambang, perumahan merupakan sektor yang paling cepat pulih. Rumah-rumah penyintas yang rusak parah dalam waktu dua tahun sudah bisa pulih seperti sebelum bencana, ujarnya. Sementara itu, tambahnya, sektor ekonomi produktif dan infrastruktur lebih lambat untuk pulih.
Secara keseluruhan, Indeks Pemulihan Bencana tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Magelang dengan poin 33.83 melesat jauh di depan kabupaten lain dalam pemulihan setelah bencana, diikuti oleh Sleman (29.47 poin), Boyolali (23.51 poin) dan Klaten (13.83 poin).
“Merapi juga mengambil pengalaman di Sumatera Barat. Contoh di Sumatera Barat, pemerintah memberi 10 ekor ayam sebagai bagian program ekonomi produktif. Ternyata 10 ekor ayam itu tidak bertambah karena setiap hari dipotong karena kebutuhan korban kurang,” ujarnya.
“Kebutuhan ekonomi produktif jangan sampai terlalu kecil, jangan sampai tidak ada hasilnya. Jadi jangan dikasih lalu dilepas saja tetapi harus dibimbing. Setelah kita melihat hasil survei ini bahwa ekonomi produktif yang paling rendah artinya kita harus fokus ke sana.”
Indeks pemulihan bencana yang dibuat BNPB bekerja sama dengan forum pengurangan risiko bencana dari Yogyakarta dan Jawa Tengah serta Badan PBB untuk pembangunan (UNDP) ini baru pertama kali ada di dunia.
Menurut Bambang, Indeks Pemulihan Bencana ini menjadi alat yang bisa digunakan untuk membantu pemerintah dan para pemangku kepentingan, agar lebih bisa memahami tantangan-tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dan indivudu-individu ketika mereka berusaha untuk kembali pulih setelah bencana.
Kepala Bagian Pencegahan dan Pemulihan Bencana dari Badan PBB untuk Pembangunan (UNDP), Krisnanto Sinandang mengatakan, peluncuran Indeks Pemulihan Bencana itu memang sangat penting bagi Indonesia yang sangat rawan bencana.
Dia menilai pemerintah Indonesia memiliki komitmen yang sangat kuat dalam masalah pengelolaan atau manajemen bencana.
“Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup aktif, proaktif untuk mendorong perubahan paradigma dari yang aktif, responsif lebih kepada proaktif, preventif. Jadi sebelum terjadi bencana banyak hal yang harus dilakukan, investasi-investasi yang harus dilakukan untuk supaya tidak hanya menunggu bencana baru kita kelabakan,” ujarnya.