Berapa jumlah penduduk Indonesia saat ini? Berapa yang bekerja sebagai petani atau pedagang? Bagaimana persebarannya menurut tempat tinggal?
Banyak pertanyaan yang sulit dijawab meski teknologi informasi sudah menjadi konsumsi sehari-hari di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah tidak ada sumber data tunggal yang menyimpan informasi tersebut secara konsisten. Tidak mengherankan jika angka dari satu kementerian bisa berbeda dengan kementerian yang lain.
Karena itulah Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden "Satu Data Indonesia" pada Juli 2019 lalu.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasinonal/Kepala Bappenas, Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro menjelaskan, Perpres ini menugaskan adanya satu data secara nasional agar tidak ada lagi perbedaan data.
“Kalaupun data itu dihasilkan oleh institusi yang berbeda, tetapi harus tetap konsisten dan keluarnya nanti, tetap merupakan satu data yang representatif, yang akurat dan sudah memenuhi semua kaidah statistik,” kata Bambang di Yogyakarta, Rabu (11/9) siang, di sela Rapat Teknis Nasional (Rateknas) Badan Pusat Statistik (BPS) se-Indonesia.
Satu Data untuk Solusi
Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pemilihan umum (pemilu), misalnya, data pemilih sering menjadi persoalan. Ini disebabkan oleh data versi administrasi kependudukan yang tidak sinkron dengan data hasil sensus. Satu Data Indonesia akan mengatasi persoalan itu ke depan, karena pemerintah wajib memiliki data yang konsisten, meskipun dihasilkan oleh lembaga yang berbeda. Data tersebut, kata Bambang, akan selalu dimutakhirkan secara berkala, konsisten dan akurat.
Rateknas BPS kali ini merupakan persiapan menyeluruh bagi BPS, yang tahun depan akan menyelenggarakan Sensus Penduduk 2020. Lembaga ini terakhir menyelenggarakan sensus pada 2010.
Menurut Bambang, Sensus Penduduk 2020 akan menjadi salah satu titik penting dalam menyusun Satu Data Indonesia. BPS akan memanfaatkan teknologi dalam pelaksanaan sensus, agar hasilnya lebih akurat sesuai waktu.
“Di Sensus Penduduk 2020 ini BPS, akan mulai memanfaatkan Big Data, dan data digital akan menjadi tren di masa depan. Karena akan makin sulit bagi BPS ke depannya, kalau semua tergantung pada kuisioner yang sifatnya fisik, satu persatu. Tentunya akan mudah dan akurat apabila kita menggunakan basis data digital,” ujar Bambang.
Digitalisasi Sensus Penduduk 2020
Kepala BPS Kecuk Suhariyanto menjelaskan penggunaan teknologi digital dalam Sensus Penduduk 2020, antara lain dengan pemanfaatan telepon pintar.
“Untuk pertama kalinya, kita akan mengajak partisipasi masyarakat meng-update diri sendiri lewat telepon genggam masing-masing,” kata Kecuk.
Sensus kependudukan secara online mandiri akan dimulai Februari 2020. Masyarakat bisa memasukkan sendiri Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan menjawab 19 pertanyaan, mulai dari nama, pendidikan, pekerjaan dan informasi lainnya dalam sensus online tersebut, papar Kecuk.
“Itu yang kemudian kita olah, kemudian kita lanjutkan di tahun 2021,” kata Kecuk.
Dengan sensus online itu, petugas BPS yang turun ke lapangan telah memiliki data awal kependudukan. Selain itu, sistem ini juga mempermudah pemutakhiran data yang lebih sesuai. Selama ini, tidak jelas tempat tinggal warga antara de jure, yaitu sesuai KTP-nya dan de facto atau senyatanya. Dalam sensus tahun depan, masyarakat dapat memberikan informasi secara mudah, apakah tempat tinggalnya saat ini sesuai KTP atau tidak.
Mobilitas masyarakat yang sangat tinggi, kata Kecuk, menjadi persoalan tersendiri bagi BPS dalam melakukan sensus secara manual dengan datang dan mewawancarai masyarakat. Partisipasi melalui telepon genggam ini akan menyederhanakan proses tersebut. Proses pengisian online mandiri ini akan berlangsung mulai Februari hingga Juni 2020. Bagi mereka yang tidak ikut serta, petugas BPS tetap akan datang pada Juli 2020.
Karena baru perdana menggunakan metode itu, BPS menarget partisipasi 22-23 persen, ujar Kecuk.
“Malaysia itu sekitar 25 persen. Untuk negara-negara yang sudah melakukan beberapa kali, seperti di Australia, bisa mencapai 68 persen. Banyak yang sudah terjangkau internet, tetapi mengajak partisipasi masyarakat itu perlu waktu, apalagi karena ini pertama,” tambah Kecuk.
Your browser doesn’t support HTML5
Indonesia berharap pada 2030 seluruh masyarkaat sudah mampu mengikuti sensus online, sehingga tidak perlu lagi menunggu kedatangan petugas.
Sistem itu juga akan jauh lebih murah. Untuk Sensus Penduduk 2020, pemerintah menyediaan anggaran sekitar Rp 4 triliun. Menurut Kecuk, hampir 83 persen dari jumlah itu digunakan untuk upah dan pelatihan petugas lapangan.
Data Penentu Kebijakan
Satu Data Indonesia didasari oleh kenyataan bahwa banyak program pemerintah di masa lalu tidak tepat sasaran karena disusun berdasar data yang kurang akurat. BPS menjanjikan dengan data kependudukan lebih baik, banyak kebijakan akan lebih tepat sasaran.
Indonesia juga mampu menyusun proyeksi penduduk. Data bonus demograsi juga merupakan hasil sensus penduduk. Kecuk mengatakan, dengan data yang baik, Indonesia bisa bersiap karena pada 2045 jumlah manula akan meningkat tiga kali lipat dari saat ini.
Bappenas juga menggarisbawahi bahwa data kependudukan sangat strategis bagi perencanaan, strategi ekonomi, dan bidang penelitian terutama terkait ilmu sosial. Data kependudukan menjadi data paling dasar, menyusun analisa dan berbagai kebijakan.
Di masa kemerdekaan, Indonesia sudah melakukan enam kali Sensus Penduduk, yaitu pada 1961, 1971, 1980, 1990, 2000, dan 2010. Tahun depan merupakan Sensus Penduduk ketujuh. Sebelum kemerdekaan, Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan dua kali sensus, yaitu pada 1920 yang hanya dilakukan di Jawa, dan 1930 yang meliputi seluruh Indonesia. [ns/ft]