Amerika dan Indonesia pada pertengahan Juli 2024, kembali menjajaki kemungkinan kemitraan multilateral terkait mineral penting, “critical minerals” dalam Kemitraan Keamanan Mineral (Mineral Security Partnership/ MSP). Mineral ini sangat dibutuhkan dalam persaingan global guna menghasilkan produk teknologi canggih termasuk baterai untuk mobil listrik. Standar apa yang harus dipenuhi dan apa tantangannya bagi Indonesia?
VOA - Lembaga kajian AS, Center for Strategic Internasional Studies (CSIS) yang berbasis di Washington DC dalam kajiannya mengenai mineral penting menyebut “Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia selain memproduksi tembaga, kobalt, timah, dan emas dalam jumlah yang signifikan”
Professor Joshua W Busby, pakar mineral kritis dari University of Texas at Austin, memaparkan jenis mineral yang dianggap kritis oleh Amerika.
“Undang-Undang Energi AS tahun 2020 mendefinisikan mineral kritis sebagai mineral yang sangat penting bagi keamanan ekonomi atau nasional AS, mineral yang rantai pasokannya rentan terhadap gangguan, dan mineral yang memiliki fungsi penting dalam bidang manufaktur yang tanpanya akan menimbulkan konsekuensi signifikan bagi keamanan ekonomi atau nasional.”
“Ada beberapa daftar yang berbeda dari berbagai lembaga, tergantung pada tujuannya. Survei Geologi AS mengidentifikasi 50 mineral yang berbeda dalam daftar tahun 2022. Bahan utama untuk baterai lithium-ion - termasuk kobalt, nikel, lithium, mangan, dan grafit - semuanya ada dalam daftar Mineral Kritis 2022,” jelasnya.
Ia menambahkan Departemen Energi mengidentifikasi 18 bahan penting untuk energi, beberapa di antaranya ada dalam daftar USGS (United States Geological Survey) Departemen Pertahanan memiliki daftar bahan strategis lain yang memiliki kegunaan penting untuk tujuan pertahanan yang mencakup bahan yang dikenal sebagai "rare earth" yang dimanfaatkan untuk membuat magnet permanen yang digunakan dalam pemandu rudal dan aplikasi lainnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Mengingat peran Indonesia sebagai salah satu pemasok mineral penting, Amerika ingin Indonesia bergabung dalam kemitraan keamanan mineral atau Mineral Security Partnership (MSP) bersama 14 negara lainnya dan Uni Eropa guna memastikan peningkatan standar dalam proses produksinya.
MSP mempertimbangkan proyek-proyek di sepanjang rantai pasokan energi bersih, mulai dari pertambangan, ekstraksi, dan pemulihan sekunder, hingga pemrosesan dan pemurnian, dan pada akhirnya daur ulang.
BACA JUGA: AS Dekati Indonesia untuk Kemitraan Multinasional Mineral KritisMSP berfokus pada rantai pasokan mineral dan logam yang paling relevan untuk teknologi energi bersih. Ini termasuk - tetapi tidak terbatas pada - lithium, kobalt, nikel, mangan, grafit, elemen tanah jarang, dan tembaga.
Termasuk dalam standar MSP, adalah perlindungan lingkungan, pembangunan yang berkelanjutan, upaya-upaya terkolaborasi, tata kelola dan kerangka peraturan yang sejalan.
Dr. Sampe Purba, pakar Geostrategy Energy, alumni Universitas Pertahanan RI, dan staff ahli Menteri ESDM 2019-2023 mengatakan, “Indonesia sudah melakukannya cukup lama dan semakin intens karena itu sudah masuk menjadi perhatian dunia, yang kami lakukan dalam kerangka peraturan ada dua hal yaitu yang pertama terkait dengan lingkungan dan yang kedua terkait dengan pertambangan, yang paling besar payungnya UU Lingkungan hidup UU No. 32 Tahun 2009, kalau dibaca secara detail bahwa untuk setiap proyek-proyek yang berdampak penting harus ada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)”
Ia menambahkan Indonesia masih mempertimbangkan dan mengkaji MSP, sambil berharap AS memahami tantangan yang dihadapi negara-negara yang sedang menuju peningkatan standar serta merundingkan kemitraan berdasarkan prinsip kesetaraan. Pakar pertambangan ini mengatakan kemitraan akan berjalan lebih baik lagi jika perusahaan-perusahaan AS juga berinvestasi langsung dan mendirikan perusahaan mineral di Indonesia.
BACA JUGA: Pembangunan Infrastruktur Nikel Besar-besaran di Indonesia: Demi Baterai, Hutan DibabatPerusahaan-perusahaan China telah mendominasi pendirian perusahaan pengolahan mineral di Indonesia selama dua tahun terakhir. Ini terjadi setelah Indonesia membuka celah investasi langsung asing atau Foreign Direct Investment (FDI) untuk meningkatkan produksi dan operasi perusahaan mineral di Indonesia.
Dr. Alvin Camba, penasihat penelitian tentang sumber daya penting untuk Asosiasi Universitas di AS (Associated Universities Inc.) menyebut alasan mengapa perusahaan-perusahaan Amerika tidak segencar China dalam persaingan investasi mineral di Indonesia.
“Kita memiliki dua ekonomi yang sangat berbeda. Sebagai contoh, ekonomi China menempatkan banyak dana untuk membuat perusahaan-perusahaan negaranya dan perusahaan-perusahaan pertambangan swasta besarnya berinvestasi di Indonesia. Ekonomi AS tidak sepenuhnya demikian, peran pemerintah sedikit, jauh lebih sedikit, sangat bergantung pada perusahaan swasta”
Jika China memberi subsidi kepada perusahaan-perusahaan China untuk berinvenstasi di luar negeri guna kepentingannya maka tidak demikian halnya dengan AS dimana perusahaan swasta bergantung pada pasar saham, harga dan keuntungan dari hasil akhir produksi.
Terlepas dari keterlibatan negara dan swasta, ekonomi dan kepentingan jangka panjang Amerika dalam investasi mineral. Alvin Camba memperingatkan tantangan dan dampak peningkatan pesat jumlah fasilitas penambangan dan pemrosesan mineral pada lingkungan.
“Penambangan nikel itu sangat, sangat mengerikan. Jadi ketika menambang nikel, itu ada limbah yang melekat di tanah. Kemudian ketika Anda menyiramnya dengan air, itu menjadi limpasan, lalu melekat pada tanah. Ketika dikatakan melekat pada tanah, pada dasarnya tanah itu mati. Dan itu juga bisa menjadi sangat beracun bagi hewan, dan lain-lain. Ada banyak ikan yang mengandung nikel. Dan ini hanya nikel. Semua kegiatan pertambangan ini sangat buruk bagi masyarakat,” paparnya.
Ia menambahkan bahwa tantangan lainnya adalah pemerintah Indonesia tidak melakukan tindakan memadai untuk melindungi masyarakat sekitarnya. Ia menegaska, anggaran yang diberikan kepada badan-badan pemerintah untuk mengawasi standar lingkungan tidak memadai.
BACA JUGA: FWI: Aktivitas Tambang Picu Deforestasi di Pulau-Pulau Kecil di IndonesiaProfessor Joshua W Busby juga melihat tantangan ini bagi Indonesia, “Pertambangan biasanya dapat berdampak tinggi pada kualitas lingkungan setempat dengan mengubah hutan menjadi lokasi tambang dan melalui kontaminasi sungai dan air pesisir dengan limbah tambang. Perusahaan pertambangan dan pengolahan di China mungkin dapat memperoleh keunggulan kompetitif dalam penetapan harga dari dampak mineral mereka dengan memiliki standar lingkungan dan sosial yang lebih rendah di tambang mereka.”
Dr. Sampe Purba mengakui pelaksanaan standar lingkungan masih harus terus ditingkatkan, dan pemerintah ingin memastikan semua perusahaan pertambangan mematuhi standar linkungan. Ini bukan pekerjaan mudah, ujarnya, namun Indonesia akan menuju ke sana.
Belum jelas kapan Indonesia akan bergabung dalam kemitraan MSP mengingat periode peralihan pemerintahan di kedua negara yang akan berpengaruh pada kebijakan-kebijakan lingkungan dan ekonomi. [my/ab]