Pemerintah Indonesia menyambut baik pemulihan hubungan diplomatik antara Arab Saudi dan Iran yang tercapai Jumat pekan lalu dalam serangkaian perundingan yang dimediasi China di Ibu Kota Beijing.
Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Bagus Hendraning Kobarsyih kepada VOA, Senin (13/3), mengatakan Indonesia mengharapkan pulihnya hubungan kedua negara itu dapat berkontribusi terhadap perdamaian dan stabilitas di kawasan Timur Tengah. Indonesia menyakini dialog dan kerjasama adalah cara terbaik dalam menyelesaikan masalah.
Menurutnya, ini sebuah awal atau hubungan baru antara Saudi dan Iran dan Indonesia memang selalu mendukung upaya damai. "Jadi pengaruhnya (pulihnya hubungan diplomatik Saudi-Iran) cukup kuat. Kalau mereka ini rukun dan bekerjasama akan jauh lebih baik dalam memberikan kontribusi kepada masyarakat yang ada di kawasan tersebut," kata Bagus.
Menurut Bagus, perdamaian Saudi dan Iran menguntung kedua belah pihak. Iran, katanya, saat ini yang sedang mencoba melepaskan diri dari isolasi ekonomi sehingga ini menjadi kesempatan bagus untuk memperluas hubungan dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah.
Keuntungan bagi Saudi, kata Bagus, adalah negara ini bisa lebih mudah keluar dari kemelut Perang Yaman karena yang diperangi adalah milisi sokongan Iran. Dengan perdamaian tersebut, Saudi ingin membentuk citra sebagai negara moderat dan bersahabat.
Terkait peran China sebagai mediator, Bagus menilai telah terjadi pergeseran mengingat 20-30 tahun lalu China tidak mendapat sambutan di Timur Tengah, kecuali dalam kerjasama yang sifatnya sangat terbatas.
Peran China saat ini tidak bisa lagi dianggap remeh, kata Bagus, mengingat negara ini berhasil mendorong perdamaian di kawasan tersebut dengan mendekatkan Saudi dan Iran.
Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia Yon Machmudi mengatakan peran China sebagai mediator antara Iran dan Saudi bisa dipahami. Kedua negara menjalin hubungan erat dengan China meski saling menuding satu sama lain sebagai penyebab konflik di kawasan Timur Tengah, katanya.
"Saya kira Saudi menjadi realisitis melihat perkembangan yang terjadi di kawasan (Timur Tengah) ketika China yang sudah mulai menguat posisinya. Ini terjadi pada saat Amerika (Serikat) mulai mengurangi hegemoni Amerika di kawasan, tidak lagi mengarahkan geopolitik ke Timur Tengah. Sementara China mulai masuk menggantikan posisi itu," ujar Yon.
Dengan pulihnya hubungan, kata Yon, Saudi dan Iran berkomitmen untuk tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing-masing.
Menurut Yon, China perlu meningkatkan hubungan dengan Saudi untuk menjamin pasokan energinya. Sedangkan Saudi membutuhkan kerjasama erat dengan China untuk mengantisipasi Amerika mengurangi kebutuhan energinya dari Saudi.
Iran juga sangat menggantungkan diri pada China karena selama ini China salah satu importir terbesar Iran.
Selain pemulihan hubungan diplomatik, Riyadh dan Teheran juga setuju mengaktifkan kembali kerjasama keamanan yang ditandatangani pada 2001 serta perjanjian perdagangan, ekonomi, dan investasi diteken pada 1998.
Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran pada Januari 2016 setelah sejumlah demonstran merusak dan membakar Kedutaan Saudi di Ibu Kota Teheran dan konsulatnya di Kota Masyhad.
Protes muncul setelah Saudi mengeksekusi ulama Syiah tersohor Syekh Muhammad Nimr an-Nimr. [fw/ab]