Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Prof. Wiku Adisasmito mengatakan positivity rate COVID-19 di Indonesia per Mei 2021 mencapai 11,3 persen. Angka ini, menurut Wiku, terendah selama pandemi, di mana terjadi penurunan yang cukup signifikan dibandingkan pada Januari hingga Februari 2021. Ketika itu, jumlah kasus positif menyentuh level 27,2 persen.
Penurunan ini, menurut Wiku, disebabkan berbagai intervensi yang dilakukan pemerintah, seperti adanya kebijakan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) secara mikro.
“Perbaikan dengan penghapusan cuti bersama pada tanggal merah, serta intervensi kebijakan melalui pelaksanaan PPKM Mikro dan pembentukan posko di tingkat Desa atau Kelurahan terbukti berpengaruh dalam menurunkan angka penambahan kasus positif dan kasus aktif dari waktu ke waktu sehingga positivity rate juga menurun. Positivity rate di Indonesia pada Mei adalah 11,3 persen, terendah selama pandemi,” ungkap Wiku dalam telekonferensi pers di Graha BNPB, Jakarta, Selasa (11/5).
Meski terjadi penurunan, Wiku berharap masyarakat tetap disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan. Pasalnya, belajar dari situasi pandemi yang terjadi di India, peningkatan kasus secara signifikan sangat mungkin terjadi.
Wiku menjelaskan, positivity rate COVID-19 di India pada awalnya lebih rendah dibandingkan dengan di Indonesia, yakin berkisar 2-3 persen dan paling tinggi mencapai delapan persen pada September tahun lalu.
Namun, kondisi ini berubah sejak April 2021, di mana positivity rate corona di India mencapai 14 persen, dan menyentuh level 21,7 persen pada Mei 2021, dengan penambahan kasus harian mencapai 400.000 kasus.
“Ini menunjukkan, tidak butuh waktu lama untuk menaikkan kasus yang diakibatkan oleh abainya kita dalam menjaga protokol kesehatan. Sedangkan di Indonesia, butuh belajar selama 12 bulan menangani pandemi untuk akhirnya menemukan formulasi yang tepat dalam menjaga agar kasus semakin turun setiap harinya,” paparnya.
Maka dari itu, Wiku meminta masyarakat untuk tidak pulang ke kampung halaman pada masa libur Idul Fitri. Ia menekankan, apabila masyarakat tetap nekat mudik, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan bernasib sama seperti India.
BACA JUGA: Idulfitri: Butuh Konsistensi Pemerintah dan Rasionalitas Masyarakat“Sebagai gambaran, keadaan di India saat ini sangat mengkhawatirkan, di mana rumah sakit sudah tidak mampu lagi menampung pasien, baik COVID-19 maupun non COVID-19. Bukan hanya rumah sakit, tenaga kesehatan maupun alat kesehatan dan obat-obatan yang dibutuhkan juga tidak mencukupi lagi. Jangan sampai kita berada dalam kondisi seperti ini. Maka dari itu, jangan lakukan silaturahmi fisik. Ketahuilah, jika kita masih memaksakan untuk bertemu dalam rangka silaturahmi fisik, baik dengan keluarga ataupun dengan kerabat di manapun, maka kemungkinan besar kita dapat tertular dan menularkan virus COVID-19,” tegasnya.
Zonasi COVID-19
Per 9 Mei 2021, ujar Wiku, terdapat 12 kabupaten/kota yang masuk zona merah atau risiko tinggi. Sedangkan untuk daerah dengan risiko sedang atau zona oranye tercatat 324 kabupaten/kota.
Wiku memperingatkan satgas dan pemerintah di daerah agar menyiapkan sarana dan fasilitas kesehatan guna menangani potensi peningkatan kasus. Pasalnya, zonasi oranye didominasi oleh daerah tujuan mudik.
BACA JUGA: Dilarang Mudik, 18 Juta Warga Diperkirakan Tetap Pulang Kampung“Sebagai catatan jumlah kabupaten/kota di zona oranye didominasi oleh kabupaten/kota yang berasal dari provinsi tujuan mudik seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat. Ini harus menjadi perhatian kita bersama, mengingat di provinsi-provinsi ini penularan lebih mungkin terjadi dengan cepat,” kata Wiku.
Ribuan Pemudik Positif Corona
Dalam kesempatan yang lain, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan hasil dari pengetatan dan penyekatan yang dilakukan pihak kepolisian di 381 titik lokasi terdapat ribuan pemudik yang positif COVID-19.
“Jumlah pemudik yang dirandom testing dari 6.700, 4.123 orang positif, dan dilakukan isolasi mandiri 1.686 orang dan yang dirawat 75 orang. Kemudian untuk kendaraan di operasi ketupat, jumlah yang diperiksa 113.694 dan yang diputar balikkan 41.097 dan pelanggaran 346 kendaraan,” ungkap Airlangga.
Ia menambahkan, Pekerja Migran Indonesia (PMI) juga telah tiba di Indonesia mendekati libur lebaran kali ini. Tecatat, 24.215 PMI tiba di tanah air pada April kemarin, sementara pada Mei diprediksi setidaknya akan ada 25.467 PMI yang akan pulang.
Pemerintah, ujar Airlangga, akan melakukan penanganan secara khusus terkait kedatangan PMI untuk mencegah terjadinya imported cases di tanah air. Pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), kata Airlangga, akan berkoordinasi dengan Pemda setempat dan pihak TNI/Polri untuk melakukan karantina, serta screening ketat dengan tes swab PCR.
“Dan hasil positif yang cukup tinggi ini diantisipasi di daerah yang memang masuk untuk PMI dan kemarin dengan Pak Gubernur dibahas di daerah Sumatera, termasuk dengan Riau, Kepri, Kaltara, Kalbar terkait kebutuhan tempat, karantina bagi PMI dan diantisipasi yang dilakukan termasuk penambahan kapasitas di daerah Dumai misalnya, di mana RS Pertamina akan membantu untuk mengisi kesiapan tersebut,” pungkasnya.
Epidemiolog: Indonesia Termasuk Negara Dengan Risiko Paparan COVID-19 yang Tinggi
Ahli Epidemilogi Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan kenekatan masyarakat yang tetap mudik pada masa lebaran kali ini berpotensi besar dalam menyebar virus corona, apalagi sebagian besar pemudik tidak mengetahui apakah dirinya positif atau negatif corona.
“Kita ini memiliki tes positivity rate di atas 10 persen. Berapa pun pokoknya di atas 10 persen itu adalah daerah atau negara yang memiliki risiko paparan tinggi. Eksposurenya tinggi sehingga setiap orang yang mobile itu besar kemungkinan membawa virus,” ujar Dicky kepada VOA.
Menurut Dicky, tingkat penularan virus corona di Indonesia sudah masuk level transmisi komunitas atau community transmission. Ini artinya, pemerintah, kata Dicky, tidak bisa mendeteksi sebagian besar infeksi virus corona yang ada di masyarakat. “Jadi baru puncak gunung esnya yang bisa dideteksi,” tuturnya.
Maka dari itu, arus mudik memang berpotensi meningkatkan kasus COVID-19 di Indonesia, namun memang tidak akan serta merta meningkat seperti yang terjadi di India.
Bom Waktu
Lebih jauh Dicky mengungkapkan ia meragukan validitas klaim pemerintah bahwa kurva kasus COVID-19 di tanah air sudah turun. Menurutnya, laporan COVID-19 yang disajikan pemerintah selama ini tidak memadai untuk bisa dijadikan sebuah kurva epidemiologi. Hal ini dikarenakan data-data yang disajikan tidak secara real time, dengan jeda yang cukup panjang dan jumlah tes yang tidak memenuhi standar WHO dan tidak merata di seluruh daerah.
"Saat ini sebenarnya kurva kita ini masih panjang, lama dan menguat, dan masih di gelombang pertama, artinya ketika satu gelombang belum selesai dalam waktu satu tahun itu artinya strateginya salah, tidak efektif dan itu tidak berhasil melandaikan kurva. Kita belum melandaikan kurva ini dan ini berbahaya karena artinya kita menyimpan bom waktu, dan itulah yang menyebabkan kita masih berada dalam level community transmission,” tuturnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, Dicky menyarankan pemerintah melakukan perbaikan mulai dari sistem pengawasan di komunitas, puskesmas, rumah sakit serta surveillance genomic. Selain itu, ia berharap pemerintah juga bisa memperbaiki sistem kesehatan dengan baik, mulai dari semua fasilitas kesehatan beserta sumber daya manusia (SDM) yang cukup dan memadai.
“PSBB (pembatasan sosial berskala besar) menjadi sangat penting, mungkin 2 minggu paling tidak, di Jawa Bali serentak untuk mencegah, karena ini saya sampaikan alarmnya sudah semakin serius, sudah saatnya kita lakukan respon yang jauh lebih serius,” pungkasnya. [g/ab]