Perang antara pasukan dua jenderal yang berkuasa di Sudan meletup sejak Sabtu pekan lalu. Pertempuran antara pasukan pemerintah dipimpin Jenderal Abdil Fattah al-Burhan dan pasukan paramiliter RSF (Pasukan Sokong Cepat) di bawah komando Jenderal Muhammad Hamdan Dagalu di Ibu Kota Khartum dan berbagai kota di Sudan telah mengakibatkan paling tidak 185 orang tewas dan lebih dari 1.800 lainnya cedera.
Korban termasuk tiga staf WFP (Program pangan Dunia) yang terbunuh dalam pertempuran di Darfur.
Menanggapi perkembangan situasi di Sudan tersebut, Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Bagus Hendraning Kobarsyih kepada VOA, Selasa (18/4) menjelaskan pemerintah Indonesia menyatakan prihatin atas situasi di Sudan.
"Indonesia menyerukan penyelesaian konflik secara damai dan mengutamakan keselamatan, kesejahteraan masyarakat Itu yang harus diprioritaskan oleh Sudan. Konflik itu segera diakhiri, kembali ke meja dialog secara damai," kata Bagus.
Ketika ditanya mengenai rencana evakuasi warga Indonesia dari Sudan, dia mengatakan Kementerian Luar Negeri dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Khartum akan terus memantau perkembangan situasi di Sudan.
Bagus menegaskan, keselamatan warga Indonesia tinggal di Sudan yang berjumlah 1200-an merupakan prioritas utama., KBRI Khartum, menurutnya, terus membangun kontak dengan warga Indonesia di Sudan agar bisa memonitor perkembangan kondisi di sana setiap hari.
KBRI Khartum juga memberikan bantuan logistik kepada warga Indonesia karena keadaan darurat dan banyak toko bahan pangan tutup.
Sejauh ini, lanjutnya, pemerintah masih akan memantau situasi di lapangan sebelum memutuskan untuk mengevakuasi warga Indonesia dari Sudan. Dia menambahkan semua warga Indonesia di Sudan sampai saat ini dalam keadaan aman dan selamat.
KBRI Khartum sudah mengimbau kepada semua warga Indonesia untuk tidak keluar rumah. Kebanyakan warga Indonesia di Sudan adalah mahasiswa.
Your browser doesn’t support HTML5
Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia Yon Machmudi mengatakan konflik bersenjata yang sedang terjadi, Menurutnya, Sudan dikuasai oleh militer sementara kekuasaan sipil tidak berkembang secara baik dan stabil.
"Saya kira ini proses dari transisi yang sebelumnya, tidak segera menunjukkan ke arah stabilitas. Pada satu sisi, masyarakat tidak puas juga dengan pemerintahan militer yang sebelumnya," ujar Yon.
Menurutnya, konflik bersenjata di Sudan kemungkinan berkepanjangan karena melibatkan militer dan kudeta. Rata-rata penguasa militer, katanya, ketika melakukan kudeta ingin segera menguasai keadaan. “Siapa saja yang menentang akan menjadi korban dan korban akan terus berjatuhan jika tidak terjadi stabilitas pasca kudeta militer pada Oktober 2021,” katanya.
Dia menambahkan pertempuran di Sudan ini mirip dengan yang terjadi di Libya di mana terjadi pertikaian antar faksi militer.
Yon mengatakan peran yang bisa dilakukan oleh Indonesia adalah mengimbau kepada pemerintah Sudan untuk menciptakan kondisi stabil dan jangan sampai jatuh korban masyarakat sipil. Indonesia, katanya, juga bisa menyerukan kepada para elite politik di Sudan untuk memperhatikan keselamatan dan nasib rakyat agar tidak menjadi korban dan perang saudara berkelanjutan.
Ketika ditanya soal evakuasi atas warga Indonesia, dia menilai pemerintah sudah harus mulai memikirkan langkah-langkah penyelamatan warga Indonesia dengan mengkonsentrasikan mereka di sejumlah tempat-tempat yang aman dan terjangkau, seperti di KBRI Khartum.
Dia memandang hubungan Indonesia dan Sudan cukup dekat. Apalagi Sudan juga menjadi anggota aktif di Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Banyaknya mahasiswa Indonesia di Sudan menjadi bukti kedekatan hubungan dua negara dan sebagian besar dari mereka mendapat beasiswa dari pemerintah Sudan. [fw/ab]