Anda tentu masih ingat serangan besar-besaran di dunia maya yang melumpuhkan situs-situs perusahaan dan pemerintahan di lebih dari 30 negara awal bulan ini? Badan Kesehatan Nasional Inggris atau NHS, Kementerian Dalam Negeri Rusia, perusahaan raksasa teknologi Jepang – Hitachi dan Nisan, dan banyak lainnya sempat tidak beroperasi karena virus ‘’ransomware’’ yang menarget piranti komputer yang masih menggunakan Microsoft Windows XP yang dinilai sudah ketinggalan jaman. Virus itu mengunci arsip dan dokumen pengguna, dan menuntut pembayaraan supaya pengguna bisa mengakses kembali arsip dan dokumen mereka.
Indonesia ternyata tidak luput dari serangan semacam itu. Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Indonesia termasuk dalam 10 besar negara yang menjadi sasaran perang siber, dan bahkan setiap hari terjadi lebih dari 10 juta serangan siber.
Dalam rapat kerja dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat di gedung MPR/DPR hari Rabu (31/5), Rudiantara menjelaskan berbagai bentuk serangan yang terjadi, mulai dari meretas dan merusak komputer, membuat komputer tidak berfungsi atau sekedar menyebarkan virus atau malware.
"DOS ini tahun 2016 paling banyak, hampir 60 juta lebih. Kalau kita lihat, trennya 2016 itu lebih banyak dibanding 2015. Yang paling banyak itu adalah DOS atau Denial of Service. Tidak merusak komputernya tapi ia mengganggu sistem lalu lintas informasi sehingga tidak bisa diakses," papar Rudiantara.
Rudiantara mengakui kesadaran masyarakat Indonesia mengenai keamanan siber masih rendah. Banyak orang Indonesia yang hampir tidak pernah mengganti kata sandi akun surat elektronik atau PIN kartu ATM. Oleh karena itu, sudah saatnya – menurut Rudiantara – untuk menekankan perlunya sosialisasi pada seluruh masyarakat agar menyadari pentingnya keamanan siber. Kementerian Komunikasi dan Informatika juga sudah menyiapkan semacam roadmap keamanan siber untuk tiga sektor penting, yakni keuangan perbankan, transportasi, dan infrastruktur atau energi.
Sosialisasi pada masyarakat sudah mulai dilakukan terutama untuk mengajak warga disiplin menyiapkan cadangan data baik di komputer pribadi atau institusi, disiplin mengunduh antivirus, disiplin meningkatkan atau meng-update sistem komputer, dan disiplin untuk secara rutin mengubah kata sandi. Melakukan keempat hal itu – ujar Rudiantara – akan mengurangi risiko terserang virus atau diretas, tapi bukan berarti bebas dari ancaman serangan virus.
Bachtiar Aly dari Fraksi Partai Nasional Demokrat memuji kinerja Kementerian Komunikasi dan Informatika, karena tidak menimbulkan kepanikan saat terjadinya serangan virus “ransom wannacry”. Padahal sumber daya yang memahami hal ini masih belum banyak.
"Ini pasti nggak banyak (sumber daya manusianya). Tapi ini bagus karena ini menyangkut kualitas SDM harus kita didik kembali dan sebagainya," kata Bachtiar.
Your browser doesn’t support HTML5
Dalam kesempatan yang sama Evita Nursanty dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menilai negara perlu segera bertindak untuk mengantisipasi agar Indonesia tidak mudah menjadi sasaran perang siber.
“Perlu ada integrasi agar badan-badan keamanan siber bisa efektif menjadi senjata penangkal dalam penyebaran virus,” ujar Evita. Untuk itu ia menyambut baik rencana pemerintah membentuk Badan Siber Nasional atau BSN. [fw/em]