Indonesia Tidak Perlu Takut Rencana Jepang Ajukan Perkara ke WTO

  • Iris Gera

Kantor Pusat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)World Trade Organization (WTO)di Jenewa, Swiss, 19 Agustus 2013 (Foto: dok).

Jepang akan memperkarakan Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO terkait larangan ekspor produk bahan tambang mentah.
Menanggapi rencana Jepang memperkarakan Indonesia ke WTO terkait larangan ekspor produk bahan tambang mentah, Menteri Perindustrian, MS Hidayat menegaskan, pemerintah Indonesia tidak punya kapasitas melarang negara manapun yang berniat memperkarakan sebuah persoalan ke WTO.

Namun kepada pers di Jakarta, Kamis (27/2), Menteri MS. Hidayat menambahkan, kedua negara akan berupaya mencari solusi atas kebijakan yang sudah diterapkan sejak 12 Januari lalu.

“Selama puluhan tahun kan menggunakan bahan baku kita untuk memajukan industri pengolahannya, sekarang ketika Indonesia yang punya bahan baku mau melakukan itu dia memprotes, jadi kalau dia mau majukan ke WTO silahkan saja, tapi menurut saya sih sebelum dia putuskan itu pasti dia akan berunding dengan Indonesia dan Indonesia akan menawarkan jalan keluarnya,” kata MS. Hidayat.

Kepada VOA, Hendrik Siregar dari Jatam menilai, pemerintah Indonesia tidak perlu takut dengan rencana Jepang tersebut. “Jepang itu tidak saja hari ini ya ketika pemerintah Indonesia menetapkan aturan larangan ekspor. Dua tahun lalu ketika undang-undang ini sudah ada, itu sudah mewanti-wanti melalui WTO," katanya.

Menurut Hendrik Siregar, persoalannya adalah apakah kita mau tunduk, atau kita mau berdiri sendiri. Jepang karena takut kehilangan sumber dari mineral yang mereka butuhkan selama ini, khususnya misalnya nikel, timah, itu memang asalnya dari Indonesia.

"Karena memang kebutuhan mereka untuk produksi elektronik dan segala macam banyak sekali dari Indonesia. Salah satu keberhasilan dari negosiasi itu, dari WTO kemarin itu diimplementasikan oleh pemerintah dengan sistem kuota, kemudian muncul ada 66 perusahaan yang tetap boleh mengekspor. Artinya secara tidak langsung, pemerintah itu sebenarnya sudah meng iya kan keinginan dari WTO, yang itu dikehendaki oleh Jepang. Dan saya pikir nggak perlu takutlah,” jelasnya.

Hendrik Siregar menambahkan, Jatam ingin pemerintah tidak hanya menerapkan larangan ekspor produk bahan tambang mentah melainkan juga melakukan penghentian sementara kegiatan usaha tambang terutam di lokasi yang sudah mengalami kerusakan parah untuk ditinjau ulang.

“Kami posisinya adalah bagaimana seharusnya induk dari persoalan ini ya diberesin dulu. Karena kalau melihat dari seluruh substansi, Undang-Undang Minerba ini harus direvisi total. Bagaimana kemudian visi dari undang-undang itu tidak mengakomodasi betul pihak perusahaan. Walaupun dia dilarang ekspor bahan mentah tapi kan penambangannya sendiri masih tetap berlangsung," kata Hendrik Sirregar.

Hendrik Siregar juga menilai, langkah pemerintah mewajibkan setiap perusahaan tambang membangun smelter, tidak akan efektif. “Dari 11 ribu izin tambang yang sekarang itu sumber daya alamnya, kecuali Freeport atau Newmont yang depositnya memang luar biasa besar sehingga usianya bisa 30-40 tahun. Bayangkan kalau perusahaan-perusahan yang tambangnya usianya 10-an sampai 15 tahun, nggak mungkin dong dia mau bangun smelter, tujuh tahun produksi, tutup," tambahnya.

Jepang merupakan negara kedua setelah Amerika Serikat merespon kebijakan larangan ekspor produk bahan tambang mentah.

Sebelumnya melalui Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Robert Blake menegaskan, meski tidak akan mencampuri aturan hukum yang berlaku di Indonesia, Amerika berharap kebijakan tersebut tidak mempengaruhi produksi PT. Freeport dan PT. Newmont yang menurutnya sudah berkontribusi bagi devisa negara Indonesia dan menciptakan lapangan kerja yang luas.