Indonesia-Tiongkok Sepakat Pelihara Stabilitas Kawasan Laut Cina Selatan

  • Alina Mahamel

Menlu Tiongkok Yang Jiechi (kiri) dan Menlu Marty Natalegawa menggelar konferensi pers bersama seusai rapat di Jakarta (10/8).

Menteri Luar Negeri Tiongkok, Yang Jiechi mendukung upaya memelihara perdamaian dan stabilitas dan bekerja atas dasar konsensus bagi diadopsinya suatu kode etik di Laut Cina Selatan.
Dalam upaya peningkatan hubungan bilateral, Menteri Luar Negeri Tiongkok, Yang Jiechi, mengunjungi Indonesia, Jumat (10/08/2012). Selain membahas soal peningkatan kerjasama kedua negara dalam berbagai bidang, Menteri Yang, juga membicarakan upaya mengatasi konflik di Laut Cina Selatan.

Selepas memimpin pertemuan kedua Komisi Bersama Kerjasama Bilateral bersama Menteri Luar Negeri RI, Marty Natalegawa, Menteri Luar Negeri Republik Rakyat Tiongkok, Yang Jiechi menyatakan mendukung upaya penyelesaian damai di Laut Cina Selatan melalui adanya Kode Etik (Code of Conduct).

“Tiongkok berkeinginan untuk bekerjasama dengan Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya untuk mengimplementasikan secara penuh dan efektif deklarasi etik dari pihak-pihak yang terlibat, membangun rasa saling percaya, meningkatkan kerjasama, memelihara perdamaian dan stabilitas dan bekerja atas dasar konsensus bagi diadopsinya suatu kode etik di Laut Cina Selatan,” demikian pernyataan Yang Jiechi dalam pernyataan di Jakarta.

Menlu Tiongkok, Yang Yiechi (kiri) menemui Presiden SBY di Istana Negara 10/8 (foto: Alina Mahamel).

Sebelumnya Menteri Yang Jiechi mengadakan kunjungan kehormatan menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara. Keduanya membahas peningkatan hubungan bilateral kedua negara dan niat Pemerintah Tiongkok untuk meningkatkan kerja sama dalam berbagai bidang mencakup investasi dan perdagangan, pangan, energi, kelautan, pembangunan infrastruktur, teknologi, serta pertahanan dan keamanan.

Secara khusus mengenai isu Laut Cina Selatan, Staf Khusus Presiden Bidang Internasional, Teuku Faizasyah, mengatakan Presiden Yudhoyono berfokus pada upaya penyusunan substansi pada Deklarasi Etik atau Declaration of Conduct (DOC) menuju Kode Etik atau Code of Conduct (COC) atas wilayah yang kaya akan hasil laut dan energi itu.

“ASEAN dan Tiongkok fokus pada upaya penyusunan DOC menuju COC. Jadi apa yang sudah disepakati dalam pertemuan di Bali tahun lalu untuk kemudian diejawantahkan prosesnya lebih lanjut antara pihak Tiongkok dan ASEAN,” kata Teuku Faizasyah.

Beberapa pulau di Laut Cina Selatan selama ini diperebutkan oleh Tiongkok, Taiwan, dan negara-negara ASEAN, yaitu Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Meskipun tidak ikut dalam perebutan itu, Indonesia aktif mendekati negara-negara yang berpolemik, termasuk Tiongkok.

“ (Pertemuan) tadi tidak secara rinci membahas langkah apa yang harus dilakukan antara satu negara dengan negara lain, tetapi semata melakukan re-group atau mengkonsolidasi ulang proses diplomasinya," ungkap Menlu Marty Natalegawa.

"Pasca pertemuan tingkat menteri luar negeri di Phnom Penh, Kamboja, sempat dipertanyakan soal kesatuan ASEAN. Kesatuan ASEAN sudah dipulihkan dengan adanya diplomasi Indonesia. Dengan Tiongkok pun kita melakukan hal yang sama dan intinya Tiongkok setuju proses diplomasilah yang harus diutamakan dan dikedepankan,” jelas Menlu RI.

Sementara Itu, Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Makmur Keliat, kepada VOA menilai langkah diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia sejauh ini sebagai upaya memindahkan persoalan perebutan wilayah itu menjadi ajang dialog, sementara kedatangan Menteri Tiongkok ini menurutnya sebagai upaya meyakinkan negara-negara ASEAN bahwa Tiongkok tidak bermaksud membuat situasi di kawasan ini menjadi rawan terhadap konflik militer.

“Kalau ada harapan bahwa Tiongkok akan menghilangkan klaim kedaulatan atas wilayah itu, saya kira harapan itu mungkin terlalu tinggi, karena hal itu akan menyulitkan para pengambil kebijakan luar negeri Tiongkok dalam mempertangungjawabkan sikap seperti itu di dalam negerinya. Tetapi jika harapan itu diturunkan tetap pada status quo, saya kira itu menjadi lebih realistis,” kata pengamat Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, Makmur Keliat.