Intimate Wedding: Kala Pandemi Mengubah Gaya Resepsi

  • Nurhadi Sucahyo

Masker menjadi pernik tambahan yang wajib dalam busana pengantin kala pandemi. (Foto: Nurhadi)

Mery tidak pernah membayangkan harus menggelar resepsi pernikahan dengan banyak aturan, seperti mewajibkan pemakaian masker, menyediakan sarana cuci tangan bagi tamu, dan membatasi undangan. Bahkan, undangan yang sudah sedikit itu, harus dijadwal kedatangannya agar tidak menimbulkan kerumunan.

“Benar-benar tidak terbayang, tidak sesuai dengan ekspektasi dulu sebelum persiapan pernikahan. Banyak saudara dan teman yang saya harapkan bisa hadir, terpaksa tidak datang karena banyak pembatasan,” ujar warga DI Yogyakarta ini.

Tetapi dia mengaku tetap bahagia, setidaknya keinginannya untuk menikah bisa menjadi kenyataan. Tidak ada alasan untuk menunda lebih lama, karena belum jelas juga kapan pandemi akan berakhir dan resepsi pernikahan bisa digelar normal seperti biasanya.

Your browser doesn’t support HTML5

Intimate Wedding: Kala Pandemi Mengubah Gaya Resepsi

Mery hanya satu dari ribuan orang yang harus mencoret banyak hal dari daftar panduan pernikahan ideal versi mereka. Resepsi pernikahan adalah acara keluarga paling besar di masa sebelum pandemi virus corona. Bagi sebagian keluarga di Indonesia, gelaran ini bahkan bisa diselenggarakan dengan mengundang hingga enam ribu tamu. Tetapi corona mengubah semuanya. Resepsi akbar tidak lagi dijumpai dalam beberapa bulan terakhir. Karena aturan pemerintah, tamu yang diundang kini sangat terbatas, antara 50 hingga 300 orang.

Perubahan Tren Pernikahan

Karena berbagai pembatasan, pasangan pengantin mengalami perubahan gambaran tentang resepsi pernikahan ideal di mata mereka. Jumlah tamu di masa lalu adalah gambaran luasnya pergaulan pengantin dan ketokohan orang tuanya. Saat ini semua menjadi lebih pribadi, hanya yang memiliki hubungan terdekat dapat hadir dan menjadi saksi.

Perubahan tren ini menjadi bahan diskusi komunitas Sambatan Jogja (Sonjo) pada Minggu (4/10) malam. Penyedia jasa penyelenggara pernikahan (wedding organizer), penyedia lokasi seperti hotel hingga biro perjalanan terlibat dalam diskusi ini. Melihat potensi yang ada, Yogyakarta diharapkan menjadi pilihan baru lokasi pernikahan dalam balutan protokol kesehatan. Tidak hanya bagi warga lokal, pasangan dari seluruh Indonesia diharapkan tertarik dengan konsep ini.

Seorang calon pengantin diukur suhu tubuhnya, yang menjadi bagian dari protokol kesehatan. (Foto: Nurhadi)

Roswita, dari biro wisata Bhiva Tour Yogyakarta mengatakan, belakangan ini tren intimate wedding memang lebih banyak dipilih pasangan. Menyikapi aturan pembatasan tamu, para pengantin memilih lokasi-lokasi tidak biasa yang tidak harus luas tetapi memiliki nilai tambah. Jenis pernikahan ini sudah beberapa lama populer di kelompok masyarakat tertentu, tetapi kini menjadi tren yang meluas.

“Seperti yang banyak ditawarkan di Bali. Mereka hanya mengundang sedikit tamu tetapi tempatnya sangat romantis, bagus, instagramable, dan biasanya mereka tidak mau tempat yang sama, yang beda dari orang lain,” kata Roswita.

Karena itulah, perusahaan perjalanan wisata akan mengambil peran dalam era baru ini. Tamu-tamu pilihan bisa saja didatangkan dari kota berbeda-beda. Selain itu, wisata khusus bagi pengantin keluarga dan para tamu akan masuk dalam paket pernikahan dengan jumlah tamu terbatas ini.

Perkembangan ini, diakui AR Sugiarto menjadi tantangan tersendiri yang harus diatasi melalui inovasi. Sugiarto mengelola wedding organizer terkemuka di Yogyakarta, Gurat Ungu The Wedding.

AR Sugiarto dari Gurat Ungu The Wedding, Yogyakarta. (Foto: screenshot)

“Ke depannya, di masa pandemi ini, kami dituntut untuk berinovasi, berkreasi dan kami harus berpikir ke depan, apa yang sebelumnya tidak kami pikirkan, harus kami pikirkan,” ujarnya.

Sekitar lima bulan terakhir, kata Sugiarto, dia bersama para vendor acara pernikahan seolah berhenti beraktivitas. Belakangan, ketika masyarakat mulai memutuskan untuk tidak menunda hajat pernikahan, pekerjaan mulai datang. Protokol kesehatan menjadi kewajiban, dan simulasi bersama seluruh vendor telah dilakukan beberapa kali.

Berdiri sejak 1988, Gurat Ungu sebenarnya telah berpengalaman menyelenggarakan resepsi pernikahan di luar hotel, gedung pertemuan atau rumah pengantin. Diantara yang pernah mereka gunakan adalah lapangan sepakbola, kompleks museum hingga area parkir. Pengalaman ini, kata Sugiarto, dirasa cukup membantu untuk merumuskan konsep baru pernikahan di era pandemi yang beda namun ketat protokol kesehatan.

Lokasi Beda Jadi Pilihan

Bagi penyedia lokasi resepsi, perubahan akibat pandemi ini juga membutuhkan berbagai penyesuaian. Maria Perwitasari, manager komunikasi pemasaran Royal Ambarukmo Hotel di Yogyakarta menyebut, sejumlah pihak bahkan meminta rapid tes dilakukan bagi karyawan hotel yang akan terlibat dalam acara mereka. Permintaan ini menggambarkan kesadaran sebagian kalangan yang sangat baik, terkait pencegahan penularan virus corona.

Bukit Dagi yang tersembunyi dan bisa menyaksikan Borobudur dari kejauhan. (Foto: PT TWC)


Jika sebelumnya aula besar di hotel yang mewah menjadi pilihan utama, kini resepsi pernikahan beralih di kawasan taman dan pendopo. Maria menambahkan, dua area ini lebih dipilih tamu karena sirkulasi udara lebih baik yang diyakini menekan potensi penularan virus dibanding ruangan tertutup.

“Mereka pasti membutuhkan yang sirkulasi udaranya baik, yang tidak terlalu tertutup. Nah itu yang cukup menguntungkan bagi kami, dan itu menjadi destinasi baru. Mungkin di Yogyakarta belum populer, tapi setidaknya saat ini orang sudah mulai banyak sekali yang melirik outdoor daripada indoor, terkait dengan protokol kesehatan ini,” kata Maria.

Taman Lumbini di kompleks Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. (Foto: PT TWC)

Candi Borobudur, Prambanan, dan kompleks Ratu Boko juga menjadi pilihan utama di masa sebelum pandemi, untuk menggelar resepsi berskala besar. Candi yang megah dengan hiasan lampu di waktu malam, menjadi latar belakang yang indah untuk jamuan makan ribuan tamu. Namun, pandemi mengubah pilihan pasangan baru, yang memindahkan lokasi pernikahan mereka ke tempat lebih kecil.

Di sekitar Candi Borobudur misalnya, ada Bukit Dagi yang bisa dipilih, seperti dipaparkan GM Komersial PT TWC Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko, Esti Wahyujati.

“Di Bukit Dagi, beberapa waktu lalu sudah ada yang mengadakan akad nikah di sana. Bentuknya sudah intimate, jadi sekitar maksimal 50 orang. Lalu di Lumbini, yang dulu dipakai konser Westlife, itu dipakai juga,” kata Esti.

Pedoman HIPAPI

Anggota Dewan Kehormatan HIPAPI, Wigung Wratsangka. (Foto: screenshot)

Secara nasional, prosesi pernikahan yang disesuaikan dengan situasi pandemi saat ini telah memiliki pedoman pelaksanaan protokol kesehatan. Pedoman ini disusun oleh Himpunan Pembawa Acara Pernikahan Indonesia (HIPAPI).

Menurut salah satu anggota Dewan Kehormatan HIPAPI, Wigung Wratsangka, pedoman ini mengatur apa yang harus dipatuhi oleh seluruh pihak yang terlibat, mulai pembawa acara, pengelola gedung, katering, dekorasi, fotografi dan video, hingga penyewaan pakaian serta sanggar rias.

“Ini kami rumuskan dalam sebuah rumusan yang jelas, untuk dapat dipatuhi dan menjadi pedoman bagi seluruh mitra pernikahan yang tergabung dalam satu pelayanan event pernikahan,” kata Wigung. [ns/ab]