Meski baik untuk lingkungan, ahli transportasi mengingatkan bahwa investasi bus tenaga listrik terlalu mahal untuk dijadikan transportasi massal.
Pengamat investasi sektor transportasi, Asnil Bambani Amri, mengingatkan pemerintah untuk dan kalangan swasta mempertimbangkan nilai investasi untuk pengembangan bus tenaga listrik yang dinilainya tidak terlalu menguntungkan.
Asnil mengatakan bahwa investasi untuk bus tersebut harus menekan komponen impor, penyediaan infrastruktur penunjang, serta daya dukung teknis lainnya dan masalah-masalah pemeliharaan.
”Jika dilihat dari perspektif lingkungan memang baik. Namun dari sisi busnis kurang karena biayanya cukup mahal. Baterai litium yang digunakan untuk mobil listrik itu hanya ada beberapa perusahaan di Amerika Serikat yang memproduksinya. Jika [bus] diproduksi beberapa unit oleh pemerintah itu mungkin, tetapi kalau dijadikan transportasi massal, tidak ada yang mau, itu investasi yang berat,” ujar Asnil pada Senin (2/7).
Pekan lalu di Jakarta, Kementerian Perhubungan mengumumkan bahwa Jakarta akan menjadi tempat proyek percontohan bus listrik untuk angkutan umum yang ramah lingkungan. Dirancang bangun oleh para pakar dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), prototip bus tersebut mampu membawa 15 orang penumpang, dengan kecepatan maksimal 100 kilometer per jam serta mampu berjalan sejauh 150 kilometer .
Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta pekan lalu di Jakarta mengakui bahwa pengoperasian mikrobus listrik tersebut masih cukup mahal, terutama pada komponen baterai yang harus diimpor dari Amerika Serikat, sementara komponen lainnya merupakan produksi lokal Indoneia.
Dari Rp. 1.2 miliar dana yang dikucurkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi untuk pembuatan bus listrik itu, sekitar 30 persen dananya dialokasikan untuk pengadaan komponen banterai impor. Jika tahap pertama pengembangan mikrobus listrik tersebut diproduksi sekitar 1000 unit, maka harga per unitnya diperkirakan berkisar Rp 900 juta.
Pakar mengatakan, walau investasi awal pengembangan bus ini cukup tinggi, namun dapat menghemat lebih dua kali lipat dari bus umum yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM), karena bus listrik tidak menggunakan knalpot, sehingga tidak menimbulkan emisi karbon (pencemaran udara) dan cukup ramah lingkungan.
Ketua Forum Warga Jakarta (FAKTA) Azas Tigor Nainggolan mengatakan di Jakarta Senin (2/7), pihaknya mendukung upaya pemerintah melakukan penyediaan jenis transportasi lebih ramah lingkungan, seperti bus bertenaga listrik.
Azas menambahkan bahwa sejumlah negara di Eropa, Amerika Latin dan juga Korea Selatan dan Tiongkok telah memanfaatkan layanan transportasi publik mereka dengan layanan bus penumpang ramah lingkungan.
Mengenai moda transportasi di Jakarta, Ida Indriastuti, 35, seorang karyawan swasta di Jakarta mengatakan banyak masalah-masalah teknis, terutama kualitas pelayanan untuk transportasi publik di Jakarta masih belum maksimal.
“Saya pengguna bus Trans Jakarta, selalu menunggu lama, kondisi busnya sudah tidak bagus, itu saja sudah berdesak-desakan,” ujarnya.
Asnil mengatakan bahwa investasi untuk bus tersebut harus menekan komponen impor, penyediaan infrastruktur penunjang, serta daya dukung teknis lainnya dan masalah-masalah pemeliharaan.
”Jika dilihat dari perspektif lingkungan memang baik. Namun dari sisi busnis kurang karena biayanya cukup mahal. Baterai litium yang digunakan untuk mobil listrik itu hanya ada beberapa perusahaan di Amerika Serikat yang memproduksinya. Jika [bus] diproduksi beberapa unit oleh pemerintah itu mungkin, tetapi kalau dijadikan transportasi massal, tidak ada yang mau, itu investasi yang berat,” ujar Asnil pada Senin (2/7).
Pekan lalu di Jakarta, Kementerian Perhubungan mengumumkan bahwa Jakarta akan menjadi tempat proyek percontohan bus listrik untuk angkutan umum yang ramah lingkungan. Dirancang bangun oleh para pakar dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), prototip bus tersebut mampu membawa 15 orang penumpang, dengan kecepatan maksimal 100 kilometer per jam serta mampu berjalan sejauh 150 kilometer .
Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta pekan lalu di Jakarta mengakui bahwa pengoperasian mikrobus listrik tersebut masih cukup mahal, terutama pada komponen baterai yang harus diimpor dari Amerika Serikat, sementara komponen lainnya merupakan produksi lokal Indoneia.
Dari Rp. 1.2 miliar dana yang dikucurkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi untuk pembuatan bus listrik itu, sekitar 30 persen dananya dialokasikan untuk pengadaan komponen banterai impor. Jika tahap pertama pengembangan mikrobus listrik tersebut diproduksi sekitar 1000 unit, maka harga per unitnya diperkirakan berkisar Rp 900 juta.
Pakar mengatakan, walau investasi awal pengembangan bus ini cukup tinggi, namun dapat menghemat lebih dua kali lipat dari bus umum yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM), karena bus listrik tidak menggunakan knalpot, sehingga tidak menimbulkan emisi karbon (pencemaran udara) dan cukup ramah lingkungan.
Ketua Forum Warga Jakarta (FAKTA) Azas Tigor Nainggolan mengatakan di Jakarta Senin (2/7), pihaknya mendukung upaya pemerintah melakukan penyediaan jenis transportasi lebih ramah lingkungan, seperti bus bertenaga listrik.
Azas menambahkan bahwa sejumlah negara di Eropa, Amerika Latin dan juga Korea Selatan dan Tiongkok telah memanfaatkan layanan transportasi publik mereka dengan layanan bus penumpang ramah lingkungan.
Mengenai moda transportasi di Jakarta, Ida Indriastuti, 35, seorang karyawan swasta di Jakarta mengatakan banyak masalah-masalah teknis, terutama kualitas pelayanan untuk transportasi publik di Jakarta masih belum maksimal.
“Saya pengguna bus Trans Jakarta, selalu menunggu lama, kondisi busnya sudah tidak bagus, itu saja sudah berdesak-desakan,” ujarnya.