Anggota-anggota parlemen Irak hari Minggu (6/11) dijadwalkan akan mengkaji sebuah RUU untuk menghidupkan kembali wajib militer di negara itu, hampir 20 tahun setelah kewajiban itu dihapus.
Wajib militer diberlakukan di angkatan bersenjata Irak pada tahun 1935-2003, dan baru dihapus setelah invasi pimpinan Amerika yang menggulingkan mantan diktator Saddam Hussein.
Anggota parlemen Irak, Yasser Iskander Watout, mengatakan pada AFP, RUU tentang wajib militer itu akan membuka jalan bagi diaktifkannya kembali wajib militer bagi laki-laki muda berusia 18-35 tahun untuk jangka waktu antara 3-18 bulan, tergantung tingkat pendidikan mereka. Mereka juga akan menerima tunjangan antara 600.000 – 700.000 dinar Irak, atau lebih dari 400 dolar Amerika, tambah Watout, yang bertugas di Komite Pertahanan parlemen itu.
Diperlukan waktu sekitar dua tahun setelah pengesahan undang-undang itu untuk mengaktifkan kembali wajib militer secara penuh, tambah Watout.
Namun, RUU itu juga mengatur bahwa putra tunggal dan pencari nafkah akan dibebaskan dari wajib militer.
BACA JUGA: Ulama Syiah Irak Sadr Katakan Ia Tinggalkan Politik, Picu KetidakpastianSejak penggulingan Saddam Hussein, Irak telah diselimuti konflik sektarian. Kelompok teroris ISIS juga telah merebut sebagian besar wilayah Irak, sebelum dikalahkan pada akhir tahun 2017 oleh pasukan Irak yang didukung pasukan koalisi pimpinan Amerika.
Koalisi anti-ISIS itu melanjutkan peran tempur di Irak hingga Desember 2021 lalu. Tetapi hingga saat ini sekitar 2.500 tentara Amerika masih tetap berada di Irak untuk membantu pelatihan, saran, dan bantuan pada pasukan nasional.
RUU tentang wajib militer itu awalnya diajukan oleh Kementerian Pertahanan pada Agustus 2021, di bawah pemerintahan perdana menteri saat itu, Mustafa Al Kadhemi.
Irak akhir tahun lalu memilih parlemen baru, yang baru dilantik bulan Oktober lalu, dalam pemerintahan yang dipimpin Mohammed Shia Al Sudani, setelah mengalami kelumpuhan politik selama satu tahun.
Meskipun ISIS telah dinyatakan kalah, anggota-anggota kelompok itu masih terus melakukan serangan terhadap pasukan pemerintah dan mantan paramiliter Hashed Al Shaabi yang kini terintegrasi dalam pasukan reguler.
“Ancaman teroris” yang terus menerus itu mendorong anggota parlemen Sikfan Sindi untuk mengaktifkan kembali wajib militer, meskipun belum jelas apakah RUU Itu akan mendapat dukungan di parlemen. Hal ini termuat dalam wawancara Sindi dengan kantor berita Irak, INA.
Anggota parlemen dari komunitas minoritas Yazidi, yang pernah menjadi sasaran ISIS, Saeb Khidr mengatakan “militerisasi masyarakat tidak akan menciptakan patriotisme.”
Sementara mantan Menteri Urusan Listrik Louia Al Khatib mengatakan di negara di mana hampir empat dari sepuluh orang muda menganggur, akan lebih baik “menciptakan pusat latihan professional,” dibanding mengaktifkan kembali wajib militer. [em/jm]