Seorang pejabat tinggi energi Irak mengatakan Irak berencana meningkatkan produksi minyak tiga kali lipat pada akhir dasawarsa ini. Kemungkinan kerjasama antara Iran dan Irak itu telah menarik perhatian banyak pihak.
Wakil Perdana Menteri Irak untuk energi, Hussain al-Shahristani, juga mengatakan dalam sebuah konferensi di London baru-baru ini bahwa Irak dan Iran sedang berunding tentang produksi minyak.
Simon Henderson dari Institut Washington mengatakan, “Irak dan Iran bekerjasama dengan baik dan keduanya ingin menyaingi Arab Saudi yang merupakan penghasil besar minyak lainnya di Teluk Arab. Minyak dan gas bisa digunakan sebagai sumber energi, tapi juga sebagai senjata utama untuk bersaing satu sama lainnya."
Para pejabat Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak telah mengecilkan dampak meningkatnya produksi dari Irak dan Iran, sementara Iran berharap untuk memanfaatkan kemajuan dalam perundingan nuklir dengan negara-negara kuat di dunia untuk mencabut sanksi-sanksi atas industri minyaknya.
Arab Saudi sejak lama telah menjadi kekuatan utama OPEC dengan cadangan minyak sebesar 267 milyar barel.
Jumlah tersebut jauh di atas cadangan minyak Iran sebanyak 151 milyar barel, dan Irak dengan 143 milyar barel. Tetapi, jika digabungkan, Iran dan Irak bisa mengakibatkan pergeseran keseimbangan kekuatan di kawasan itu.
Yang menjadi kekhawatiran adalah perang yang melibatkan beberapa pihak lain di Suriah, di mana Arab Saudi membantu mempersenjatai kelompok-kelompok pemberontak, sementara Iran mendukung pemerintah Suriah tetap berkuasa.
Tetapi paling tidak untuk sekarang ini, para pakar seperti Nader Habibi dari Universitas Brandeis memperkirakan Iran akan memusatkan perhatian pada minyak, terutama karena Iran memiliki masalah ekonomi.
Nader menambahkan, “Pemerintah Iran lebih memusatkan perhatian pada upaya penyelesaian isu-isu ekonomi dan meningkatkan kondisi ekonomi, dan hal ini memerlukan kebijakan luar negeri yang lebih moderat."
Para pemimpin Iran tidak banyak berkomentar tentang kerjasama dengan Irak dalam hal produksi minyak, meskipun mereka telah mendekati Rusia mengenai kemungkinan mencapai kesepakatan tentang ekspor-impor minyak.
Tentang Irak, juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Jen Psaki mengatakan, "Seperti yang telah kami tekankan, bukan hanya kepada Irak tapi juga semua negara dalam masyarakat internasional, melibatkan diri dengan sektor energi Iran bisa melanggar dan berbenturan dengan sanksi-sanksi Amerika dan internasional."
Para pakar industri minyak juga memperingatkan agar Irak dan Iran berhati-hati dalam mengambil tindakan yang bisa menurunkan harga minyak dan mengurangi keuntungan.
Simon Henderson dari Institut Washington mengatakan, “Irak dan Iran bekerjasama dengan baik dan keduanya ingin menyaingi Arab Saudi yang merupakan penghasil besar minyak lainnya di Teluk Arab. Minyak dan gas bisa digunakan sebagai sumber energi, tapi juga sebagai senjata utama untuk bersaing satu sama lainnya."
Para pejabat Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak telah mengecilkan dampak meningkatnya produksi dari Irak dan Iran, sementara Iran berharap untuk memanfaatkan kemajuan dalam perundingan nuklir dengan negara-negara kuat di dunia untuk mencabut sanksi-sanksi atas industri minyaknya.
Arab Saudi sejak lama telah menjadi kekuatan utama OPEC dengan cadangan minyak sebesar 267 milyar barel.
Jumlah tersebut jauh di atas cadangan minyak Iran sebanyak 151 milyar barel, dan Irak dengan 143 milyar barel. Tetapi, jika digabungkan, Iran dan Irak bisa mengakibatkan pergeseran keseimbangan kekuatan di kawasan itu.
Yang menjadi kekhawatiran adalah perang yang melibatkan beberapa pihak lain di Suriah, di mana Arab Saudi membantu mempersenjatai kelompok-kelompok pemberontak, sementara Iran mendukung pemerintah Suriah tetap berkuasa.
Tetapi paling tidak untuk sekarang ini, para pakar seperti Nader Habibi dari Universitas Brandeis memperkirakan Iran akan memusatkan perhatian pada minyak, terutama karena Iran memiliki masalah ekonomi.
Nader menambahkan, “Pemerintah Iran lebih memusatkan perhatian pada upaya penyelesaian isu-isu ekonomi dan meningkatkan kondisi ekonomi, dan hal ini memerlukan kebijakan luar negeri yang lebih moderat."
Para pemimpin Iran tidak banyak berkomentar tentang kerjasama dengan Irak dalam hal produksi minyak, meskipun mereka telah mendekati Rusia mengenai kemungkinan mencapai kesepakatan tentang ekspor-impor minyak.
Tentang Irak, juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Jen Psaki mengatakan, "Seperti yang telah kami tekankan, bukan hanya kepada Irak tapi juga semua negara dalam masyarakat internasional, melibatkan diri dengan sektor energi Iran bisa melanggar dan berbenturan dengan sanksi-sanksi Amerika dan internasional."
Para pakar industri minyak juga memperingatkan agar Irak dan Iran berhati-hati dalam mengambil tindakan yang bisa menurunkan harga minyak dan mengurangi keuntungan.