Peraih Hadiah Nobel Perdamaian yang tengah dipenjara di Iran, Narges Mohammadi, kembali dijatuhi hukuman penjara untuk satu tahun lagi atas kegiatan aktivisme yang dilakukannya, kata pengacaranya pada Rabu (19/6).
Mostafa Nili, pengacara Mohammadi, mengatakan kepada kantor berita The Associated Press, bahwa kliennya dihukum atas tuduhan membuat propaganda melawan sistem negara itu. Nili mengatakan bahwa hukuman tersebut dijatuhkan setelah Mohammadi mendesak para pemilih untuk memboikot pemilihan parlemen Iran yang berlangsung baru-baru ini. Ia juga mengirimkan surat kepada para anggota parlemen di Eropa, serta memberikan komentar mengenai penyiksaan dan pelecehan seksual yang dialami oleh seorang jurnalis dan aktivis politik Iran lainnya.
Mohammadi ditahan di Penjara Evin yang terkenal kejam di Iran, yang menampung para tahanan politik dan mereka yang memiliki hubungan dengan pihak Barat. Dia telah menjalani hukuman 30 bulan penjara, yang kemudian ditambah 15 bulan lagi pada Januari. Pemerintah Iran belum mengakui hukuman tambahannya.
Vonis terbaru itu mencerminkan kemarahan teokrasi Iran terhadap penganugerahan Nobel Perdamaian kepada Mohammadi pada Oktober lalu. Mohammadi meraih penghargaan tersebut atas kiprahnya selama bertahun-tahun, meskipun pemerintah telah melakukan kampanye selama beberapa dekade untuk menargetnya.
Mohammadi adalah perempuan ke-19 yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian dan perempuan Iran kedua yang meraih penghargaan itu setelah aktivis hak asasi manusia Shirin Ebadi pada 2003. Mohammadi, 52 tahun, tetap melakukan kegiatan aktivismenya meskipun telah sering ditangkap oleh pihak berwenang Iran dan dipenjara selama bertahun-tahun.
BACA JUGA: Diplomat Swedia: Pembebasan dari Penahanan 2 Tahun di Iran Seperti MimpiPada November lalu, Mohammadi melakukan aksi mogok makan karena ia bersama narapidana lainnya dilarang memperoleh perawatan medis dan mereka memprotes peraturan negara yang mewajibkan jilbab bagi perempuan.
Mohammadi adalah tokoh utama dalam protes nasional yang dipimpin oleh para perempuan, yang dipicu oleh kematian seorang perempuan berusia 22 tahun dalam tahanan polisi pada 2022. Protes itu telah berkembang menjadi salah satu tantangan paling kuat terhadap pemerintah teokratis Iran. Perempuan tersebut, Mahsa Amini, sebelumnya ditahan karena diduga tidak mengenakan jilbab sesuai dengan keinginan pihak berwenang.
Bagi perempuan Muslim yang taat, penutup kepala adalah tanda kesalehan dan kesopanan di depan laki-laki di luar keluarga mereka. Di Iran, jilbab - dan cadar hitam yang menutupi seluruh tubuh dan dikenakan sebagian warga - juga telah lama menjadi simbol politik, terutama setelah diwajibkan pada tahun-tahun setelah Revolusi Islam 1979.
Meskipun perempuan di Iran memiliki pekerjaan, posisi akademis, dan bahkan jabatan di pemerintahan, kehidupan mereka dikontrol dengan ketat, sebagian karena adanya peraturan seperti kewajiban mengenakan hijab. Namun, sejak kematian Amini, semakin banyak perempuan yang memilih untuk tidak mengenakan jilbab meskipun ada peningkatan kampanye dari pihak berwenang yang menargetkan mereka dan bisnis yang melayani mereka. [my/ns]