Jumlah pemilih 41% yang diklaim Iran pada pemilu tanggal 1 Maret, meskipun merupakan rekor terendah, namun dianggap angka yang biasa digunakan oleh rezim otoriter untuk melegitimasikan sebuah pemilihan yang sebenarnya tidak kompetitif, kata ketua kelompok nirlaba Eropa yang meneliti sikap masyarakat Iran kepada VOA pekan ini.
Dalam jumpa pers yang disiarkan televisi hari Senin, Menteri Dalam Negeri Iran, Ahmad Vahidi mengatakan, 25 juta dari 61 juta pemilih yang memenuhi syarat memberikan suara dalam pemilu parlemen dan Majelis Ahli, yang memilih pemimpin tertinggi Iran.
Survei pra-pemilu yang dilakukan oleh lembaga pemungutan suara pemerintah memperkirakan tingkat partisipasi yang sama sebesar 41% itu, yang satu persen di bawah rekor terendah sebelumnya sebesar 42%, yang dicapai pada pemilihan parlemen terakhir pada tahun 2020.
BACA JUGA: Kubu Konservatif Iran Raih Sejumlah Besar Kursi dalam PemiluKelompok Islam ultrakonservatif yang setia kepada Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, memenangkan sebagian besar kursi di kedua badan tersebut, setelah menghadapi persaingan kecil dari faksi yang sudah mapan lainnya. Sebagian besar faksi digugurkan dari pencalonan oleh badan penyaringan yang pro-Khamenei.
Berbagai kelompok oposisi dan aktivis di dalam dan di luar Iran menyerukan boikot terhadap pemilu itu, yang mereka sebut sebagai pemilu palsu.
GAMAAN, sebuah kelompok penelitian yang berpusat di Belanda, mendapati dalam survei prapemilu atas 58.000 orang dewasa di Iran, bahwa 77% responden tidak berencana untuk memilih. Banyak rakyat Iran disibukkan dengan kenaikan biaya hidup yang tinggi, tingkat inflasi 70% untuk perumahan dan makanan di daerah perkotaan, menurut media pemerintah.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller mengatakan kepada wartawan hari Senin, klaim pihak berwenang Iran mengenai jumlah pemilih “secara umum tidak dapat diandalkan.” [ps/jm]