Iran Pindahkan 5 Warga AS Keturunan Iran dari Penjara ke Tahanan Rumah

Lima warga AS yang masih ditahan di Iran, dari kiri: Robert Levinson, Siamak Namazi, Bagher Namazi, Xiyue Wang, dan Michael White (foto: dok).

Iran telah memindahkan lima warga negara Amerika keturunan Iran dari penjara ke tahanan rumah, kata pejabat AS hari Kamis (10/8). Langkah itu dilakukan setelah Teheran menghabiskan waktu berbulan-bulan menyarankan Washington untuk melakukan pertukaran tahanan dengan uang senilai miliaran dolar yang dibekukan di Korea Selatan.

Pejabat Iran di PBB membenarkan adanya kesepakatan itu kepada kantor berita AP, dengan mengatakan bahwa pembebasan tahanan “menandai langkah awal yang signifikan dalam penerapan perjanjian ini.”

Iran juga mengakui bahwa kesepakatan itu melibatkan uang sebesar $6 miliar hingga $7 miliar yang dibekukan di Korea Selatan. Pejabat Iran mengatakan bahwa uang itu akan ditransfer ke Qatar sebelum dikirim ke Iran apabila kesepakatan itu tercapai.

Perjanjian multinasional yang rumit itu tercapai di tengah peningkatan ketegangan selama berbulan-bulan antara Iran dan AS. Penumpukan militer AS besar-besaran di Teluk Persia sedang dilakukan, di mana pasukan bersenjata AS kemungkinan akan naik dan menjaga kapal-kapal komersial yang berlayar melalui Selat Hormuz yang penting, di mana 20% perdagangan minyak melintas.

BACA JUGA: Iran Tolak Tudingan Inggris soal Pasukan Garda Revolusioner sebagai Ancaman Keamanan

Belum jelas apakah pemindahan warga negara Amerika keturunan Iran itu menjamin kepulangan mereka. Selama beberapa bulan terakhir, Iran telah melebih-lebihkan kemajuan yang dicapai dalam sejumlah perundingan, yang kemungkinan dimediasi oleh Oman dan Qatar, untuk melakukan pertukaran.

AS pada Maret lalu menyebut pernyataan Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian bahwa kesepakatan untuk melakukan pertukaran hampir tercapai sebagai sebuah “kebohongan yang kejam.”

Pengacara yang berbasis di AS, Jared Genser, mengidentifikasi tiga dari lima tahanan yang dipindahkan, yaitu Siamak Namazi, Emad Sharghi dan Morad Tahbaz. Genser, yang menjadi pengacara Namazi, tidak menyebut tahanan keempat dan kelima. Kelimanya kemungkinan akan ditahan di sebuah hotel di bawah penjagaan sampai mereka dapat meninggalkan Iran, tambah Genser.

“Langkah Iran yang tak terduga dengan memindahkan para tahanan Amerika dari Penjara Evin ke tahanan rumah merupakan sebuah perkembangan penting,” kata Genser dalam sebuah pernyataan. “Meski saya berharap ini akan menjadi langkah pertama dari pembebasan mereka, ini setidaknya menjadi awal dari akhir, tidak lebih dari itu. Tapi tidak ada jaminan apa pun tentang apa yang akan terjadi setelah ini.”

Saudara perempuan Sharghi, Neda Sharghi, juga membenarkan pemindahan itu.

“Keluarga saya percaya pada upaya yang dilakukan Presiden Biden dan pejabat pemerintah untuk memulangkan keluarga kami dan berharap dapat mendengar kabar itu secepatnya,” katanya dalam sebuah pernyataan. “Sampai saat itu terjadi, saya harap Anda mengerti bahwa menurut kami tanggapan lebih jauh dari kami tidak akan membantu.”

Adrienne Watson, juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, membenarkan pemindahan para tahanan ke tahanan rumah dan mengatakan bahwa negosiasi pembebasan mereka “sedang berlangsung” dan “rumit.”

“Meskipun ini merupakan langkah yang menggembirakan, warga negara AS ini… seharusnya tidak pernah ditahan sejak awal,” katanya dalam sebuah pernyataan. “Kami akan terus memantau kondisi mereka seseksama mungkin. Tentu saja kami tidak akan berhenti sampai mereka semua kembali ke Amerika Serikat.”

Belum jelas berapa banyak warga negara Amerika keturunan Iran yang ditahan oleh Teheran, yang tidak mengakui dwikewarganegaraan.

BACA JUGA: AS Berlakukan Sanksi Pertama terhadap Iran atas Penculikan Mantan Agen FBI

Tiga tahanan yang disebut Genser antara lain Namazi, yang ditahan pada 2015 dan kemudian divonis 10 tahun penjara atas dakwaan spionase yang dikritik secara internasional; Sharghi, seorang pemodal ventura yang dijatuhi hukuman 10 tahun penjara; dan Tahbaz, seorang pelestari lingkungan keturunan Iran yang ditangkap tahun 2018 dan dijatuhi vonis 10 tahun penjara.

Pernyataan pejabat AS beberapa bulan terakhir mengindikasikan adanya tahanan keempat di Iran, sementara sebuah surat kabar Iran bulan ini melaporkan adanya tahanan kelima, di tengah negosiasi pembebasan mereka.

Sementara itu, Iran mengatakan pihaknya juga menginginkan pembebasan tahanan Iran di AS.

Media Iran sebelumnya mengidentifikasi beberapa tahanan terkait yang didakwa melanggar undang-undang ekspor AS dan pembatasan berbisnis dengan Iran.

Dugaan pelanggaran itu termasuk transfer dana melalui Venezuela dan penjualan peralatan berkegunaan ganda yang menurut AS dapat digunakan dalam program militer dan nuklir Iran. Iran telah memperkaya uranium dan menimbunnya sebagai bagian dari kemajuan program nuklirnya.

Kesepakatan itu juga menggantungkan aset Iran di bank-bank Korea Selatan yang dibekukan karena sanksi internasional terhadap Teheran. Iran sendiri telah lebih dulu menyita sebuah kapal tanker minyak milik Korea Selatan di tengah perselisihan dan mengancam pembalasan lebih lanjut pada bulan Agustus.

“Yang pasti Iran tidak akan diam saja, dan kami punya banyak opsi yang dapat merugikan Korea dan kami pasti akan menggunakannya,” kata Fadahossein Maleki, anggota parlemen Iran yang duduk di dalam komite keamanan nasional dan kebijakan luar negeri yang berpengaruh.

Iran dan AS memiliki sejarah pertukaran tahanan yang dimulai sejak 1979 ketika terjadi pengambilalihan kedutaan besar AS dan krisis sandera setelah berlangsungnya Revolusi Islam. Pertukaran besar terakhir terjadi pada 2016, ketika Iran sepakat dengan beberapa kekuatan dunia untuk membatasi program nuklirnya dengan imbalan keringanan sanksi.

Empat tawanan Amerika, termasuk wartawan Washington Post Jason Rezaian, dipulangkan dari Iran, sementara beberapa warga Iran di AS juga dibebaskan. Pada hari yang sama, pemerintahan Obama menerbangkan uang tunai senilai $400 juta ke Teheran.

Iran menerima banyak kecaman dunia internasional karena menarget warga dengan dwikewarganegaraan di tengah ketegangannya dengan dunia. Sebuah panel PBB menyebut adanya “pola yang muncul yang melibatkan perampasan kebebasan warga negara ganda secara sewenang-wenang.” Negara-negara Barat menuduh Iran menggunakan tahanan asing sebagai alat tawar dalam negosiasi politik, sebuah tuduhan yang disangkal Tehera.

Negosiasi pertukaran tahanan besar-besaran tersendat setelah mantan Presiden AS Donald Trump secara sepihak menarik AS dari kesepakatan nuklir pada 2018. Sejak tahun berikutnya, serangkaian serangan dan penyitaan kapal yang dikaitkan dengan Iran telah meningkatkan ketegangan. Sementara Presiden AS Joe Biden mulai menjabat dengan harapan dapat memulihkan perjanjian itu, negosiasi diplomatik mengenai kesepakatan itu telah terhenti selama setahun.

Belum jelas apakah kemungkinan perjanjian pertukaran tahanan akan berdampak pada Biden, yang kini sedang memerintahkan penebalan kekuatan di Teluk Persia. Pada 2016, mantan Presiden Barack Obama dikritik pedas oleh Partai Republik akibat pertukaran tahanan, meski ia sudah hampir menyelesaikan masa jabatan keduanya. Biden sendiri akan menghadapi pilpres pada November 2024, dengan kemungkinan kembali melawan Trump.

BACA JUGA: Warga Iran-AS Lakukan Aksi Mogok Makan sebagai Banding ke Biden

Pihak-pihak di AS yang kritis terhadap upaya diplomasi dengan Iran mulai mempertanyakan kesepakatan itu segera setelah Genser mengumumkannya.

“Membayar $6 miliar sebagai tebusan hanya akan membuat rezim itu menyandera lebih banyak orang,” kata Mark Dubowitz dari Yayasan Pertahanan Demokrasi yang bermarkas di Washington, yang memimpin kritik terhadap kesepakatan nuklir Iran. “Ini telah menjadi sarana pemerasan internasional yang menguntungkan bagi pemimpin tertinggi Iran.”

Meski demikian, penebalan kekuatan di Teluk Persia dapat melindungi Biden dari kritik negara-negara Teluk Arab di Teluk Persia, yang mengandalkan jaminan keamanan Amerika. AS juga sedang bernegosiasi dengan Arab Saudi untuk mengakui Israel secara diplomatik – kesepakatan yang mungkin memberikan jaminan dukungan militer lebih jauh dalam menghadapi Iran. Itu pun setelah Riyadh berhasil melonggarkan ketegangan dengan Iran Maret lalu setelah bertahun-tahun.

Sementara itu, yang juga sudah lama hilang di Iran adalah pensiunan agen FBI Robert Levinson, yang menghilang di pulau Kish, Iran, pada 2007. Liputan investigasi AP pada 2013 mengungkap bahwa ia dikirim dalam sebuah misi CIA yang tidak sah. AS menduga ia diculik oleh agen pemerintah Iran. Teheran sendiri membantah telah menangkap Levinson atau mengetahui keberadaannya.

Ia diduga telah meninggal dunia di dalam tahanan Iran. Ia seharusnya berusia 75 tahun saat ini. [rd/jm]