Iran dan Arab Saudi, Jumat (10/3) sepakat untuk kembali membangun hubungan diplomatik dan membuka kedutaan setelah ketegangan bertahun-tahun antara kedua negara, di antaranya karena serangan menghancurkan terhadap pusat produksi minyak Saudi yang dikaitkan dengan Teheran.
Kesepakatan itu dicapai di Beijing pekan ini di tengah-tengah acara seremonial Kongres Rakyat Nasional China. Ini merupakan kemenangan diplomatik besar bagi China ketika negara-negara Teluk Arab menganggap AS perlahan-lahan menarik diri dari kawasan Timur Tengah yang lebih luas. Kesepakatan ini juga dicapai sementara para diplomat telah berusaha untuk mengakhiri perang bertahun-tahun di Yaman, konflik dengan keterlibatan Arab Saudi dan Iran yang sangat dalam.
Kedua negara merilis pernyataan bersama mengenai kesepakatan itu dengan China, yang tampaknya memperantarai perjanjian tersebut. Media pemerintah China tidak segera melaporkan kesepakatan itu.
Media pemerintah Iran mengunggah foto-foto dan video pertemuan di China. Unggahan itu memperlihatkan Ali Shamkhani, sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, bersama dengan penasihat keamanan nasional Saudi, Musaad bin Mohammed al-Aiban dan Wang Yi, diplomat paling senior China.
“Setelah menerapkan keputusan, para menteri luar negeri kedua negara akan bertemu untuk mempersiapkan pertukaran duta besar,” kata televisi pemerintah Iran. Ditambahkan bahwa pembicaraan itu telah diadakan selama empat hari.
Pernyataan bersama mereka menyerukan agar pembangunan kembali hubungan dan pembukaan kembali kedutaan besar terjadi “dengan periode maksimum dua bulan.”
China dukung penuh kesepakatan
Dalam rekaman yang ditayangkan media Iran, Wang terdengar menyampaikan “ucapan selamat sepenuh hati” atas “kearifan” kedua negara. “Kedua pihak telah menunjukkan ketulusan,” ujarnya. “China mendukung sepenuhnya kesepakatan ini.”
China, yang baru-baru ini menerima Presiden Iran Ebrahim Raisi yang berhaluan keras, adalah pembeli utama minyak Saudi. Presiden Xi Jinping, yang baru meraih masa jabatan ketiga sebagai presiden pada Jumat pagi, mengunjungi Riyadh pada Desember lalu untuk menghadiri pertemuan dengan negara-negara Teluk Arab yang kaya minyak, yang penting untuk memasok energi bagi China.
BACA JUGA: Iran Berusaha Perluas Kerja Sama Militer dengan ChinaKantor berita pemerintah Iran IRNA mengutip Shamkhani yang menyebut pembicaraan berlangsung “jelas, transparan, komprehensif dan konstruktif.”
“Menyingkirkan kesalahpahaman dan memiliki pandangan berorientasi masa depan dalam hubungan antara Teheran dan Riyadh jelas akan menyebabkan peningkatan keamanan dan stabilitas regional, selain meningkatkan kerja saja antara negara-negara Teluk Persia dan dunia Israel untuk menghadapi berbagai tantangan masa kini,” kata Shamkhani sebagaimana dikutip kantor berita itu.
Tidak lama setelah pengumuman oleh pihak Iran, media pemerintah Saudi mulai menerbitkan pernyataan yang sama.
Kedua negara sepakat hormati kedaulatan
Kantor berita Reuters menyebutkan bahwa kesepakatan antara Teheran dan Riyadh mencakup afirmasi mereka mengenai penghormatan terhadap kedaulatan negara-negara dan untuk tidak mencampuri urusan internal.
Mereka juga sepakat untuk mengaktifkan perjanjian kerja sama keamanan yang ditandatangani pada tahun 2001, serta perjanjian terdahulu lainnya mengenai perdagangan, ekonomi dan investasi.
Kedua negara berterima kasih kepada China, serta Irak dan Oman, karena telah menjadi tuan rumah pembicaraan-pembicaraan awal pada tahun 2021 dan 2022.
Seorang juru bicara keamanan nasional Gedung Putih mengatakan AS mengetahui laporan mengenai kesepakatan itu dan menyambut baik setiap upaya untuk membantu mengakhiri perang di Yaman dan meredakan ketegangan di Timur Tengah.
Penyebab ketegangan
Dua kekuatan Islam Syiah dan Sunni terkemuka di Timur Tengah itu telah berselisih selama bertahun-tahun, dan mereka mendukung pihak-pihak yang berbeda dalam perang proksi dari Yaman hingga Suriah hingga ke tempat-tempat lainnya.
Saudi memutuskan hubungan dengan Iran pada tahun 2016 setelah para pengunjuk rasa menyerbu pos-pos diplomatik Saudi di sana. Arab Saudi mengeksekusi ulama Syiah terkemuka beberapa hari sebelum itu, sehingga memicu demonstrasi.
BACA JUGA: Suriah, Iran Sambut Normalisasi Hubungan antara Damaskus dan Negara-negara ArabEksekusi ini dilakukan sewaktu Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman, mulai naik ke tampuk kekuasaan. Putra Raja Salman itu pernah membandingkan Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei, dengan pemimpin Nazi Jerman Adolf Hitler, dan ia juga mengancam akan menyerang Iran.
Dalam beberapa tahun berikutnya, ketegangan meningkat dramatis di Timur Tengah sejak AS secara sepihak menarik diri dari perjanjian nuklir Iran dengan negara-negara berpengaruh dunia pada tahun 2018. Iran dituding melakukan serangkaian serangan setelah itu, termasuk yang menarget pusat industri minyak Saudi pada tahun 2019 yang membuat produksi minyak mentah kerajaan itu berkurang separuhnya.
Meskipun pemberontak Houthi Yaman yang didukung Iran pada awalnya mengaku melancarkan serangan itu, negara-negara dan pakar Barat menyalahkan Teheran terkait serangan itu. Iran telah lama membantah melancarkan serangan tersebut maupun serangan-serangan lain yang dikaitkan dengan Republik Islam tersebut.
BACA JUGA: Menlu Iran Harapkan Pemulihan Hubungan dengan SaudiKelompok Houthi merebut ibu kota Yaman, Sanaa pada September 2014 dan memaksa pemerintah yang diakui internasional untuk mengasingkan diri di Arab Saudi. Koalisi pimpinan Saudi, yang dilengkapi dengan senjata dan intelijen AS, memasuki perang itu dengan berpihak pada pemerintah Yaman di pengasingan pada Maret 2015. Perang bertahun-tahun di sana telah menciptakan bencana kemanusiaan dan mendorong negara termiskin di dunia Arab itu ke ambang kelaparan.
Gencatan senjata enam bulan dalam perang Yaman, yang terlama dalam konflik itu, berakhir pada Oktober lalu terlepas dari upaya-upaya diplomatik untuk memperpanjangnya. Ini menyebabkan kekhawatiran perang akan meningkat. Lebih dari 150 ribu orang telah terbunuh di Yaman dalam pertempuran, termasuk lebih dari 14.500 warga sipil. [uh/ab]