Menteri luar negeri Iran pada Selasa (5/11) mengatakan bahwa Teheran menentang eskalasi militer di wilayah Timur Tengah tetapi "pasti akan menanggapi" serangan mematikan pada 26 Oktober lalu yang dilancarkan oleh Israel terhadap negaranya.
Dalam kunjungan resmi ke negara tetangga, Pakistan, Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi membahas serangan Israel terhadap pangkalan militer Iran dan instalasi lainnya, yang mengakibatkan kematian sedikitnya lima orang, sebagian besar adalah personel keamanan.
“Tidak seperti rezim Israel, Republik Islam Iran tidak menginginkan eskalasi. Namun, kami tetap memiliki hak untuk membela diri secara sah berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB,” katanya dalam konferensi pers bersama di Islamabad dengan mitranya dari Pakistan, Ishaq Dar.
“Kami tentu akan menanggapi agresi Israel pada waktu dan cara yang tepat secara sangat terukur dan penuh perhitungan,” kata Araghchi tanpa menjelaskan lebih lanjut.
BACA JUGA: Ribuan Demonstran Protes Pemecatan Menteri Pertahanan Israel Yoav GallantPesawat tempur Israel melakukan serangan pada 26 Oktober, yang menurut Israel merupakan balasan atas serangan rudal Teheran pada 1 Oktober. Iran menggambarkan tindakan militernya sebagai respons atas terbunuhnya para pemimpin militan yang didukung oleh Teheran dan seorang komandan dari Garda Revolusi.
Pada hari Minggu (3/11), media pemerintah Iran mengutip pernyataan Presiden Masoud Pezeshkian bahwa gencatan senjata potensial antara sekutu regionalnya dan Israel "dapat memengaruhi intensitas dan jenis" respons Iran terhadap serangan Israel.
Dar menyatakan pada hari Selasa bahwa selama diskusi dengan mitranya dari Iran, kedua pihak mengutuk "agresi Israel yang tak terkendali" di Timur Tengah dan menekankan perlunya "gencatan senjata" dan "deeskalasi" yang mendesak.
Jaringan pipa gas
Araghchi mengatakan bahwa selama pertemuannya di Islamabad, ia juga menekankan perlunya meningkatkan kerja sama politik, ekonomi, perdagangan dan energi antara Iran dan Pakistan. Ia menggambarkan terorisme sebagai ancaman bersama bagi kedua negara dan mendesak peningkatan kerja sama.
Kedua menteri luar negeri tersebut tidak membahas status jaringan pipa bernilai miliaran dolar yang telah lama terhenti, yang dimaksudkan untuk mengekspor gas alam Iran ke Pakistan yang kekurangan energi.
AS menentang proyek tersebut karena dianggap melanggar sanksi terhadap Iran atas program rudal nuklir dan balistiknya.
BACA JUGA: Pakistan Sewa 2 Firma Hukum Amerika Serikat untuk Lawan IranBerdasarkan perjanjian penjualan dan pembelian gas tahun 2009 untuk jaringan pipa lintas batas, Iran harus memasok Pakistan hingga 1 miliar kaki kubik gas per hari dari Ladang South Pars milik Iran. Namun, proyek tersebut telah ditunda sejak saat itu.
Pejabat Iran telah lama mengumumkan bahwa jaringan pipa sepanjang 900 kilometer telah selesai dibangun di sisi perbatasan mereka. Pejabat Pakistan mengatakan bahwa mereka belum mulai membangun bagian jaringan pipa mereka karena takut terkena sanksi AS.
Teheran telah mendesak Islamabad untuk menjalankan bagiannya dari proyek tersebut atau membayar denda finansial yang dilaporkan mencapai hingga $18 miliar karena menundanya.
Pakistan baru-baru ini menyewa jasa dua firma hukum yang berkantor pusat di AS untuk mewakili negara tersebut di Mahkamah Arbitrase Internasional guna mengantisipasi situasi potensial di mana Iran dapat memaksa Islamabad untuk memenuhi kewajibannya atau menghadapi sanksi finansial.
Langkah tersebut menyusul pemberitahuan terakhir Teheran kepada Islamabad pada Agustus lalu sebelum mengajukan arbitrase dari badan yang berkantor pusat di Paris tersebut. [uh/ab]