Lies Marcoes Natsir, Direktur Eksekutif Yayasan Rumah Kitab menceritakan satu kenangan bersama almarhum Presiden Indonesia keempat, Abdurrahmah Wahid alias Gus Dur. Dia ingat, suatu saat berada dalam forum seminar bersama Gus Dur di Erasmus Huis.
Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu mengatakan, di banyak negara Islam, belum tentu perempuan diberi tempat sebaik di Indonesia. Di mana kondisi itu adalah konsekuensi logis, sejak adanya pesantren putri dan perempuan bisa masuk ke perguruan tinggi Islam. Langkah itu, membawa mereka ke banyak pilihan, seperti Fakultas Syariah, yang akhirnya memungkinkan perempuan menjadi hakim.
“Sesuatu yang di negara Islam lain tidak mungkin, pada waktu itu tahun 1957, perempuan bisa menjadi hakim. Jadi, penerimaan perempuan ada di ruang publik dan menduduki peran-peran yang strategis hampir tanpa diskriminasi, itu adalah satu ciri penerimaan atau kesesuaian Islam dan demokrasi,” ujar Lies.
Kenangan itu dipaparkan Lies dalam forum yang juga digelar Erasmus Huis dalam bingkai AE Priyono Democracy Forum, Jumat (16/10) sore. Kali ini, forum berbincang mengenai Islam dan Demokrasi: Kebebasan Individual dan Keadilan Sosial di Indonesia.
Moderat Sejak Lama
Lies ingin meyakinkan publik, bahwa Islam di Indonesia sejak lama sebenarnya bersifat moderat atau yang disebut sebagai washatiyah. Sikap moderat itu menjadi pilar yang menjamin perkembangan dan bersemainya demokrasi.
Faktornya, kata Lies, antara lain karena Indonesia memiliki dua organisasi sipil Islam yang kuat, yaitu NU dan Muhammadiyah. Indonesia juga memiliki pesantren, sebagai subculture dari Islam, dimana perempuan yang diwakili figur Bu Nyai, berperan sangat penting. Faktor ketiga, menurut Lies, Indonesia memiliki perguruan tinggi Islam, dimana moderasi beragama dikembangkan. Paling penting dari itu, salah satu ciri khas Islam di Indonesia, dimana demokrasi bisa berkembang, karena perempuan mendapatkan tempat di ruang publik.
Sayangnya, dalam periode Orde Baru, kondisi justru berubah. Dalam ideologi yang memadukan pengaruh Jawa dan militer, kata Lies, perempuan dipindah perannya ke belakang, yang dikenal dengan istilah "konco wingking".
“Yang paling menyedihkan, saya kira, sehingga kita punya masalah sekarang, di era Orde Baru kita tidak diberi kesempatan melakukan kontestasi, dengan pandangan-pandangan yang datang dari Islam,” tambah Lies.
Setelah reformasi kondisinya kembali berubah, ada kelompok yang di era ini justru kembali mengangkat ide-ide berdasar teks keagamaan. Demokrasi, kemudian,seolah muncul kembali pertentangannya dengan Islam.
Tantangan Bagi Muslim
Budhy Munawar Rachman, pengasuh Esoterika-Forum Spiritualitas menyebut beberapa kemungkinan, mengapa Indonesia masih memiliki masalah ketika persoalan Islam dan demokrasi sebenarnya sudah selesai.
“Pertama kali, mungkin kita harus ingat bahwa demokrasi ini sebenarnya sesuatu yang memang baru. Betul-betul baru untuk dunia Islam. Baru dalam arti, bahwa ini adalah norma internasional yang di dunia Islam belum dikenal. Walaupun ,kita bisa mencari akar demokrasi di dalam tradisi-tradisi Islam,” kata Budhy.
Karena baru itu, dibutuhkan refleksi yang mendalam dari komunitas muslim, terutama cendekiawan, tentang ide-ide yang berkembang di dunia Islam. Hal itu perlu agar persoalan ini menjadi bagian dari Islam, dari pemikiran Islam, kata Budhy.
Para pemikir muslim Indonesia, seperti Gus Dur, Nurcholis Madjid, dan banyak lainnya, menurut Budhy sebenarnya sudah menunjukkan kompatibilitas Islam dengan demokrasi. Budhy memberi contoh, negara-negara mayoritas muslim yang akhirnya memilih menerapkan demokrasi ketika merdeka, adalah bukti Islam selaras dengan demokrasi.
Dia juga meyakinkan, jelas tidak ada masalah demokrasi sebagai sebuah nilai. Persoalannya tinggal teknis penerapan demokrasi dalam kenyataannya.
“Tugas kita sebagai muslim sekarang ini adalah bagaimana meningkatkan mutu dari demokrasi tersebut. Masalah kita bukan, apakah Indonesia itu negara demokrasi atau bukan karena kita adalah negara demokrasi. Nilai apa yang disumbangkan kalangan muslim terhadap proses demokratisasi itu dan meningkatkan mutu demokrasi adalah tanggung jawab kita,” papar Budhy.
Polarisasi Kian Terasa
Peneliti yang sedang menempuh program doktor di Australian National University, Nava Nuraniyah, menyebut, kelompok-kelompok dalam Islam memberi dukungan politik yang berbeda di Indonesia.
Dalam dua Pemilu terakhir, posisi keduanya semakin terlihat karena dukungan yang terpusat pada dua kubu berseberangan. Karena hanya dua kubu itulah, polarisasi semakin terasa. Perbedaan dalam demokrasi sebenarnya sesuatu yang wajar, namun dalam kasus dua Pemilu terakhir, kondisi itu justru membahayakan demokrasi.
BACA JUGA: Ensiklopedia Muslimah Reformis: Perempuan dan Perbincangan Kemanusiaan“Polarisasi yang berimbas kepada demokrasi, adalah ketika berbagai macam permasalahan yang ada di masyarakat, dari mulai perbedaan etnis, agama, sampai ketimpangan ekonomi, itu dikerucutkan, diesensialisasikan menjadi seakan-akan itu cuma satu jenis pembelahan identitas,” kata Nava.
Dia memberi contoh, yang terjadi di Amerika Serikat antara kelompok kulit putih dan imigran serta kulit hitam. Atau di India, yang terjadi antara Hindu dengan minoritas muslim. Di Indonesia, periode ini dikenal dengan perseteruan Kadrun dan Cebong. Karena polarisasi, Pemilu yang semestinya menjadi adu program kebijakan, berubah serupa perang suci antara dua ideologi, ujar Nava.
Di Indonesia, lanjut Nava, kubu yang dianggap pluralis menang dalam Pemilu, tetapi tidak menyelesaikan masalah. Dalam kasus pembubaran HTI misalnya, muncul banyak kritik karena prosedur itu tidak dilakukan melalui pengadilan.
Nava memaparkan, ada tiga mazhab dalam menyikapi kondisi yang saat ini terjadi, yang dibahas kalangan peneliti demokrasi. Aliran pertama adalah mereka yang percaya, bahwa demokrasi harus dibela dengan cara militan. Mereka percaya, kebebasan berbicara dan berkumpul bisa dibatasi untuk kelompok tertentu yang memang mengancam demokrasi. Namun, tindakan itu harus melalui jalur hukum, bukan keputusan sepihak seorang presiden.
Mazhab kedua adalah demokrasi liberal prosedural. Kelompok ini menegaskan, bahwa dalam demokrasi, negara harus mengakomodasi seluas-luasnya semua pendapat, bahkan bagi kelompok intoleran. Tujuan memberi akomodasi ini, karena pertimbangan lebih baik kelompok ini berada dalam sistem daripada bertambah radikal di luar. Jika mereka mengikut kompetisi politik yang fair, kelompok ini akan belajar menjadi lebih pragmatis. Di Indonesia, kelompok yang awalnya pro syariah, kemudian melunak karena dalam sistem demokrasi kelompok ini dipaksa melakukan proses take and give.
“Yang terakhir, sosial demokrasi. Ini lebih menekankan pada keadilan sosial, bahwa untuk memperkuat demokrasi, tidak cuma institusinya yang dikuatkan, tetapi juga rakyatnya dikuatkan. Pertama, ketimpangan ekonomi harus diselesaikan dahulu. Ketika rakyat menikmati akses setara dalam pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan kebebasan berpendapat dalam demokrasi, maka dengan sendirinya rakyat akan merasa memiliki dan membela demokrasi,” papar Nava. [ns/ab]