Para aktivis Palestina dan kelompok-kelompok HAM telah meminta Israel agar mengizinkan seorang anggota parlemen yang dipenjarakan untuk menghadiri pemakaman putrinya, Selasa (13/7).
Khalida Jarrar (58), anggota terkemuka Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP), telah keluar masuk penjara Israel dalam beberapa tahun terakhir. Pengadilan militer menghukumnya dua tahun penjara pada Maret karena menjadi anggota sebuah kelompok terlarang. Dengan masa pemenjaraan yang telah dijalaninya, ia akan dibebaskan pada bulan Oktober.
PFLP memiliki sayap bersenjata dan dianggap sebagai kelompok teroris oleh Israel dan negara-negara Barat, tetapi Jarrar belum pernah dianggap terlibat dalam serangan-serangan yang dilakukan kelompok itu. Militer Israel mengakui pada Maret lalu bahwa Jarrar tidak berurusan dengan aspek pengelolaan atau aspek militer dari organisasi tersebut.
Jarrar dijatuhi hukuman 15 bulan penjara pada tahun 2015 atas tuduhan penghasutan dan keanggotaan dalam PFLP. Ia juga dikenai penahanan administratif yang memungkinkan Israel menahan tersangka warga Palestina untuk waktu yang lama tanpa tuduhan.
Putrinya yang berusia 30 tahun, Suha, yang memperjuangkan isu-isu yang berkaitan dengan gender dan perubahan iklim untuk kelompok HAM Al-Haq, ditemukan tewas pada hari Minggu di rumahnya di kota Ramallah, Tepi Barat, kata kelompok itu. Namun, kelompok tersebut tidak mengungkap penyebab kematiannya.
Al-Haq meluncurkan kampanye yang menyerukan pembebasan Jarrar segera dan tanpa syarat atas dasar kemanusiaan, dan mengatakan telah mengajukan banding ke negara-negara lain serta Komite Internasional Palang Merah.
Dukungan mengalir dari para aktivis dan kelompok-kelompok HAM lainnya dalam kampanye online di bawah tajuk "freekhalidajarrar". Sebuah petisi online berhasil mengumpulkan lebih dari 11.500 tanda tangan.
Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di New York mengatakan penangkapan berulang-ulang Jarrar adalah bagian dari tindakan keras Israel yang lebih luas terhadap oposisi politik tanpa kekerasan yang menentang pendudukan militer atas tanah yang diinginkan Palestina untuk negara masa depan mereka.
“Menahan Khalida karena aktivisme politiknya melanggar kebebasan berserikatnya,'' kata Omar Shakir, direktur HRW untuk Israel dan wilayah Palestina. “Otoritas Israel setidaknya harus mengizinkannya mengucapkan selamat tinggal kepada putrinya.'' [ab/uh]