Perdana Menteri Israel Naftali Bennett mengatakan Sabtu (6/11) malam bahwa tidak ada ruang di Yerusalem untuk misi Amerika lainnya. “Tidak ada ruang untuk konsulat Amerika lainnya di Yerusalem. Yerusalem adalah ibu kota satu negara dan itu adalah negara Israel,” tandasnya.
Pemerintahan Trump menutup konsulat AS di Yerusalem, sebuah kantor yang selama bertahun-tahun berfungsi sebagai kedutaan de facto untuk Palestina. Menteri Luar Negeri Antony Blinken telah berjanji untuk membukanya kembali, sebuah langkah yang menurut Israel akan menantang kedaulatannya atas kota itu. Pembukaan kembali misi diplomatik itu diharapkan dapat membantu memperbaiki hubungan AS dengan Palestina yang terputus di bawah Trump.
BACA JUGA: Utusan PBB Bahas Perdamaian Timur Tengah di MesirDalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Palestina mengatakan pihaknya memandang pembukaan kembali konsulat itu sebagai bagian dari komitmen komunitas internasional untuk mengakhiri pendudukan Israel selama puluhan tahun atas wilayah yang oleh Palestina dicita-citakan sebagai negara masa depan mereka.
Kementerian Luar Negeri Palestina menyatakan, “Yerusalem Timur adalah bagian tak terpisahkan dari wilayah Palestina yang diduduki dan merupakan ibu kota negara Palestina. Israel, sebagai kekuatan pendudukan, tidak berhak memveto keputusan pemerintah AS.”
Dalam konferensi pers, Perdana Menteri Israel Naftali Bennett mengulangi posisi Israel di Yerusalem. Dia menyarankan agar konsulat Amerika itu dibuka di pusat administrasi Palestina di Ramallah, Tepi Barat.
Menlu Israel, Yair Lapid mengatakan, “Mengenai konsulat Amerika, seperti yang kami berdua katakan, ini bukan masalah politik dan stabilitas politik, ini adalah penolakan berprinsip dari Negara Israel terhadap pembukaan konsulat di Yerusalem. Sudah ada kedutaan Amerika (di Yerusalem), dan jika mereka ingin membukanya di Ramallah, kami tidak punya masalah dengan itu.”
Warga Palestina menolak gagasan itu karena hal itu akan mengacaukan klaim mereka atas Yerusalem.
Israel memandang Yerusalem sebagai ibu kota abadi dan tak terbagi. Warga Palestina menginginkan bagian timur kota itu, yang diduduki Israel sejak tahun 1967, sebagai ibu kota negara mereka kelak.
Konsulat itu muncul sebagai ujian antara pemerintahan Bennett dan pemerintahan Biden, yang telah bergerak untuk memulihkan kebijakan luar negeri tradisional AS terhadap Israel dan Palestina.
Your browser doesn’t support HTML5
Presiden Donald Trump telah menurunkan operasi konsulat AS itu dan menempatkannya di bawah Kedutaan Besar AS untuk Israel ketika dia memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke kota suci aitu pada tahun 2018. Pemindahan kedutaan membuat marah Palestina yang kemudian memutuskan sebagian besar hubungan dengan pemerintahan Trump.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken belum memberikan tanggal pasti untuk pembukaan kembali konsulat itu dan para pejabat AS telah menyiratkan bahwa perlawanan Israel terhadap langkah tersebut dapat menjadi penghalang. [lt/jm]