Israel Urung Serang Fasilitas Iran, Harga Minyak Anjlok

Kilang minyak Abadan di barat daya Iran, tampak dari sisi Irak, selatan Basra Irak, 21 September 2019. (Foto: Essam Al-Sudani)

Harga minyak mentah juga turun karena kekhawatiran tentang permintaan di China, setelah Beijing tidak mengumumkan stimulus baru untuk ekonominya yang tersendat pada pengarahan akhir pekan.

Harga minyak anjlok pada Selasa (15/10) setelah adanya laporan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan kepada Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden bahwa dia tidak akan menyerang fasilitas minyak mentah atau nuklir Iran.

Harga minyak mentah juga turun karena kekhawatiran tentang permintaan di China, setelah Beijing tidak mengumumkan stimulus baru untuk ekonominya yang tersendat pada pengarahan akhir pekan.

Harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) melemah lebih dari lima persen menjadi di bawah $70 per barel pada satu tahap, tetapi pulih ke $70,58.

Harga minyak mentah berjangka Brent North Sea, turun 4,1 persen.

Serangan rudal balasan Iran terhadap Israel pada bulan ini membuat harga minyak mentah melonjak karena kekhawatiran bahwa serangan lebih lanjut sebagai tanggapan, akan mengganggu pasokan minyak.

Namun laporan tentang jaminan PM Israel “telah meredakan sebagian dari kekhawatiran mengenai pasokan itu”, kata Matt Britzman, analis ekuitas senior di perusahaan jasa keuangan Hargreaves Lansdown.

“Dengan premi risiko geopolitik yang turun, harga sekali lagi ditentukan oleh gambaran tentang permintaan yang sedang bergejolak,” tambahnya.

Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) mengatakan, pasar minyak global tetap “cukup” tersuplai berkat berakhirnya blokade minyak Libya, melemahnya permintaan, dan kerugian produksi yang relatif kecil akibat badai di kawasan Teluk Meksiko di AS.

Kekhawatiran bahwa China, importir minyak mentah terbesar di dunia, gagal menghidupkan kembali ekonominya yang sedang terpuruk, menambah tekanan ke bawah.

Investor kecewa dengan kurangnya perincian dari Menteri Keuangan China, Lan Fo'an mengenai skala langkah stimulus untuk menghidupkan kembali ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

“Ke mana pun Anda melihat, China sangat membutuhkan dukungan fiskal, dengan permintaan domestik yang sangat lemah di samping ekonomi yang menghadapi tekanan deflasi dan permintaan global yang lebih lemah,” kata Rodrigo Catril, seorang ahli strategi senior di National Australia Bank. [ns/uh]