Isu Hijab Dalam Olahraga Kembali Mencuat di Prancis

Pendukung tim sepak bola perempuan "Les Hijabeuses" berunjuk rasa di depan balai kota di Lille, Prancis, 16 Februari 2022. Slogan-slogan itu berbunyi "Olahraga untuk semua" dan "Kebebasan, Kesetaraan, Persaudaraan untuk semua". (REUTERS/Pascal Rossignol)

Hijab lagi-lagi menjadi sorotan di Prancis.  Ini terkait dengan rancangan undang-undang (RUU) yang bisa melarang penggunaan penutup rambut dan leher khas Muslim perempuan itu dalam kompetisi olahraga. 

RUU itu pada prinsipnya bertujuan mendemokratisasi olahraga, termasuk bagaimana mengatur federasi-federasi besar olahraga di negara itu. Namun, dalam RUU itu, ada pasal yang secara jelas menyebutkan penggunaan simbol-simbol keagamaan yang mencolok akan dilarang dalam kegiatan-kegiatan olahraga.

Senat Perancis menolak untuk melakukan pemungutan suara atas RUU itu. Tapi pasal itu sendiri sejak tahun lalu telah diloloskan oleh Senat yang dikuasai kelompok-kelompok konservatif, yang menggagaskannya. Kini RUU itu diserahkan ke majelis rendah, yakni Majelis Nasional, untuk dipertimbangkan.

Pasal kontroversi tersebut sebetulnya ditentang oleh pemerintah Presiden Emmanuel Macron. Mengingat mayoritas dipegang oleh partainya dan sekutu-sekutunya di majelis rendah, pasal itu kemungkinan akan dihapus dari RUU tersebut. Apalagi, majelis rendah menjadi penentu final lolos tidaknya sebuah RUU.

Namun, terlepas dari kemungkinan dihapuskan, pasal itu membuat marah banyak Muslim di Prancis, dan di luar negara itu.

Pendukung tim sepak bola perempuan "Les Hijabeuses" bermain sepak bola di depan balai kota di Lille, sebagai bagian dari protes saat Senat Prancis memeriksa RUU yang menampilkan larangan hijab kontroversial dalam olahraga kompetitif di Prancis, 16 Februari 2022. (REUTERS/Pascal Rossignol)

Majid Siham, seorang Muslim perempuan yang tinggal di Paris, terlibat dalam salah satu aksi demo yang menentang legislasi itu.

"Kami di sini untuk menunjukkan tentangan kami terhadap amendemen yang disetujui Senat, yang bertujuan melarang perempuan berhijab untuk berpartisipasi dalam kompetisi olahraga. Kami bermain sepak bola untuk menunjukkan bahwa, voila, kami ingin bermain, dan kami bisa bermain dengan mengenakan hijab,” jelasnya.

Senator Didier Rimbaud dari partai berhaluan tengah, RDPI, merujuk pada Piagam Olimpiade untuk menunjukkan tentangannya terhadap pasal itu.

"Lihat Piagam Olimpiade yang berpegang teguh pada semangat keterbukaan. Saya mengajak Anda untuk membaca kembali prinsip-prinsip dasar Olimpiade, dua pasal saja. Pasal 4: 'Setiap individu harus memiliki kemungkinan untuk berlatih olahraga, tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun'; Pasal 6: 'Perlindungan terhadap hak dan kebebasan yang diatur dalam Piagam Olimpiade ini harus dijamin tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, politik atau opini lain, asal kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran atau status lainnya," lanjutnya.

Para tokoh konservatif, termasuk Senator Jean-Raymond Hugonet dari Partai Les Republicans, bersikeras bahwa simbol-simbol keagamaan adalah alat politik yang harus dihapuskan dalam kegiatan olahraga.

Aksi protes para pendukung tim sepakbola perempuan "Les Hijabeuses" di depan balai kota di Lille, Prancis, 16 Februari 2022. Slogan itu berbunyi "Olahraga untuk semua". (REUTERS/Pascal Rossignol)

“Kalian seharusnya malu karena menentang pasal ini. Itu justru bermaksud sebaliknya. Tujuannya adalah agar semua perempuan berpartisipasi dalam kompetisi olahraga tanpa perbedaan, tanpa segala bentuk diskriminasi, tanpa segala bentuk seksisme. Hijab, kita semua tahu di sini adalah alat politik. Titik,” tegasnya.

Identitas dan posisi Islam dalam masyarakat Prancis menjadi isu panas menjelang pemilihan presiden bulan April mendatang. Dua kandidat sayap kanan menggelar program-program nasional mereka yang mempertanyakan kompatibilitas Islam dengan nilai-nilai negara. Jajak-jajak pendapat menunjukkan, mereka masing-masing meraih hampir 35% suara pemilih. [ab/uh]