Sebagai penghasil telur terbesar di Indonesia, Jawa Timur berkepentingan memastikan produk telurnya bebas dari dioksin, sementara aktivis lingkungan berharap upaya lebih dari pemerintah untuk mengatasi persoalan dan dampak sampah plastik.
Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, memastikan telur produksi peternakan di Jawa Timur bebas dari bahaya dioksin. Hal ini merupakan respon atas beredarnya di media, hasil penelitian sejumlah lembaga terhadap sampel telur milik warga Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto, serta di Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo.
Menurut Khofifah, Jawa Timur setiap tahunnya mampu menghasilkan 8,2 miliar butir telur dalam setahun, dan berkontribusi terhadap 29 persen kebutuhan telur nasional. Pihaknya memastikan pengawasan kualitas berjalan dengan baik pada peternak ayam petelur di Jawa Timur.
BACA JUGA: Ditemukan Mikroplastik Dalam Feses, Ancaman Nyata Plastik Bagi Manusia“Telur dari Jawa Timur berkontribusi 29 persen dari kebutuhan telur nasional, maka semuanya harus bisa dipastikan bahwa telur-telur yang komersial seperti ini, Insya Allah semua dalam posisi quality control yang terjaga,” ujar Khofifah.
Guna mendukung visi pemerintah untuk membangun sumber daya manusia unggul mulai tahun 2020, Khofifah mendorong pengambil kebijakan di tingkat pusat agar segera menerbitkan peraturan yang melindungi kepentingan industri, serta tetap memastikan keamanan dan kesehatan masyarakat.
“Kita mohon kembali regulasi yang terkait dengan pihak kepabeanan, regulasi kaitan dengan peraturan perundang-undangan yang itu di dalam kewenangan Kementrian LHK, kita mohon semuanya bisa berseiring dengan upaya membangun kehidupan yang sehat. Kalau pembangunan SDM itu masuk visi pertama secara nasional, pembangunan SDM itu berarti harus sehat, harus terdidik, sehingga SDM-nya bisa maju dan unggul,” tambah Khofifah.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur, kata Khofifah, telah membahas rencana konversi energi yang digunakan industri pembuatan tahu dan krupuk milik masyarakat. Sebelumnya industri tersebut memanfaatkan sampah plastik sebagai bahan bakar. Konversi atau alternatif energi pengganti ini menjadi bahasan penting pemerintah provinsi bersama pemerintah kabupaten/kota serta instansi terkait, agar masyarakat mau beralih dan tidak lagi menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakar.
“Para pelaku IKM (industri kecil menengah) tahu di Tropodo, itu siap-siap mengkonversi bahan bakar yang sementara ini dari plastik, satu opsinya adalah wood palette. Paling memungkinkan dan paling terjangkau adalah wood palette, menurut hitungan Pak Bupati. Yang kedua adalah, sudah dikomunikasikan oleh Pemkab Sidoarjo dengan PGN (Perusahaan Gas Negara), memperpanjang pipa city gas. Kemudian ketiga, adalah dengan CNG (compressed natural gas). Keempat adalah dengan LPG (liquefied petroleum gas),” tukasnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Selain Desa Bangun yang menjadi tempat pembuangan dan pemilahan sampah plastik oleh masyarakat, Desa Tripodo menjadi perhatian karena terdapat 60 lebih industri pembuatan tahu dan krupuk, yang memanfaatkan sampah plastik sebagai bahan bakar. Sampah plastik dipilih setelah harga kayu bakar maupun energi lainnya semakin mahal. Sebagai perbandingan, harga 1 truk kayu bakar dihargai antara Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta. Sedangkan harga satu truk sampah plastik hanya berkisar Rp 300.000.
Penelitian Beberapa Lembaga Temukan Kandungan Dioksin pada Telur Ayam di Dua Desa
Sejumlah lembaga yaitu International Pollutants Elimination Network (IPEN), bekerja sama dengan NEXUS3 Foundation, Arnika, dan Ecoton, melakukan penelitian dan menerbitkan hasil laporan pada awal November 2019, terdapat kandungan dioksin pada telur-telur ayam milik warga Desa Tropodo dan Desa Bangun yang melebihi ambang batas kewajaran.
Peneliti Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation), Daru Setyorini mengatakan, hasil penelitian menyebut terdapat 16 jenis racun dari limbah plastik ditemukan dalam telur ayam milik warga. Dari tiga sampel telur dari Desa Bangun, tiga sampel telur dari Desa Tropodo, dan enam sampel telur yang dibeli di supermarket, telur dari Desa Bangun dan Desa Tropodo mengandung dioksin dengan kadar 200 pikogram per gram lemak, sedangkan standard yang ditetapkan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BB POM) hanya 2,5 pikogam per gram lemak telur.
“Hasilnya menunjukkan bahwa kandungan bahan-bahan pencemar POPs, persistent organic pollutant, termasuk di dalamnya dioksin, di dalam telur dari Tropodo, sangat-sangat jauh melebihi kandungan yang ada di dalam telur kontrol yang dibeli dari supermarket. Supermarket itu sebagian besar di bawah detection limit dari alat laboratorium. Sedangkan yang di dalam sampel telur Tropodo dan Bangun, itu melebihi batas yang rata-rata normal, apalagi untuk dioksin di Tropodo itu 70 kali lebih tinggi dari standar keamanan dioksin dalam pangan yang ditetapkan Badan POM (pengawasan obat dan makanan),” ungkap Daru.
Daru mengajak masyarakat menyadari bahaya pembakaran plastik maupun pembuangan sampah plastik secara terbuka di permukiman.
“Penelitian kami sebenarnya bukan untuk menyatakan bahwa semua telur di Jatim itu tercemar dioksin, sama sekali tidak, karena ini adalah sangat kasuistik, dimana tujuan penelitian kami untuk menunjukkan bahwa ada aktivitas pembakaran sampah plastik yang terjadi di Tropodo dan di Desa Bangun, dan plastik yang dibakar itu merupakan sampah impor yang didapatkan masyarakat dari pabrik kertas. Penelitian ini ingin membuktikan bahwa pembakaran sampah plastik dan aktivitas dumping yang dilakukan oleh pabrik kertas di lingkungan permukiman, itu telah menimbulkan dampak yang membahayakan kesehatan,” imbuhnya.
Daru juga mendesak pemerintah menghentikan praktik jual beli sampah oleh pabrik kertas dengan warga, karena merupakan pelanggaran hukum. Ayam peliharaan warga diminta tidak berkeliaran bebas di lokasi pembuangan sampah maupun pembakaran sampah, karena dioksin dapat terpapar melalui rantai makanan.
“Kami mengharapkan sebenarnya ada penanganan serius dari pemerintah untuk penanganan atau pemanfaatan sampah impor di Jawa Timur, khususnya yang dikelola oleh pabrik kertas, di situ termasuk Desa Bangun dan Tropodo," katanya.
"Jadi, kami ingin bahwa pemerintah segera menghentikan aktivitas jual beli sampah impor bekas pabrik kertas kepada masyarakat. Peraturan Menteri Perdagangan pun melarang hal itu, jadi sampah impor seharusnya tidak boleh diperjual belikan, harus dikelola sendiri oleh pabrik kertas, jangan malah diberikan ke masyarakat, dan tentu masyarakat tidak paham bagaimana harus mengelola sampah dengan baik dan ramah lingkungan. Akhirnya ya sampah banyak dibakar dan dibuang sembarangan,” pungkasnya. [pr/em]