Para pakar tata kota dan teknologi dari ITS menyampaikan hasil kajian mengenai alasan kelayakan pemindahan ibukota, serta kriteria ibu kota yang sesuai untuk Indonesia di masa depan.
Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Joni Hermana mengatakan, rencana pemerintah yang ingin memindah ibu kota negara Indonesia, dari Jakarta ke daerah lain, dinilai sebagai rencana yang tepat.
Joni Hermana mengungkapkan, kebutuhan memindahkan ibu kota dari Jakarta dipengaruhi rendahnya indeks Kota Jakarta dibanding kota-kota lain, terutama di bidang keamanan, transportasi dan pengembangan kawasan. Hal ini berpengaruh pula pada pemerataan pembangunan di wilayah Indonesia, yang lebih ke arah barat.
“Dari semua indeks yang berkaitan dengan fungsi ibu kota itu, hampir semuanya mempunyai posisi yang terbawah, Jakarta itu. Dari segi keamanan, dari segi transportasi atau kemacetan, dari segi pengembangan kewilayahan, karena ternyata pengembangan Jakarta itu membuat ketergantungan wilayah di sekitarnya, itu semakin besar ke Jakarta, sehingga terjadi ketimpangan dalam proses pembangunan ekonomi. 80 persen berkutat pada wilayah Jawa dan Sumatera, sementara daerah yang lain ketinggalan,” tutur Joni Hermana.
Kepala Peneliti E-Government ITS Surabaya, Tony D. Susanto mengungkapkan, pemindahan ibu kota negara harus memperhatikan pasokan sumber daya manusia (SDM) yang dapat mendukung pembangunan di tempat baru, khususnya di bidang teknologi, informasi dan komunikasi.
“Kita harus memilih sebuah kota, dimana kota itu juga memudahkan untuk mensupplai SDM-SDM-nya. Ketika kita memindahkan, yang kita pindahkan misalnya dari Jakarta sampai level Kementerian pindah. Tapi untuk sustainability, untuk mensupporting semua proses bisnis itu kan perlu SDM-SDM. Untuk 20-30 tahun kedepan itu harus jelas, ketika dia dipindahkan dari Jawa, maka SDM-SDM terutama SDM IT ini, bagaimana pun juga akan menjadi kendala ketika yang lulusan perguruan tinggi-perguruan tinggi dari Jawa,” ungkap Tony.
Penataan kawasan yang akan dijadikan ibu kota negara, kata Tony, harus pula memperhatikan infrastruktur teknologi, informasi dan komunikasi, sebagai penghubung daerah-daerah di Indonesia yang merupakan negara kepulauan.
“Yang ada di pusat Indonesia, ada di tengah Indonesia, plus yang dia secara infrastructure TIK itu sudah siap, dalam arti minimal dariFiber Optic Palapa Ring, dia masuk disitu, back bone-nya. Karena dengan konsep yang archipelago countries management tadi, fenomenanya akan berubah, bukan lagi hanya kota itu semua dari mulai Presiden, Menteri sampai Dirjen ada di satu tempat, tapi sampai dengan di level pusat komando itu hanya sampai Menteri di kota itu, sementara Dirjennya akan disebar ke pusat-pusat urusan itu. Kayak hutan ada di Kalimantan, mungkin kelautan ada di Sulawesi, dan itu membutuhkan koneksi TIK yang sangat kuat, yang sangat bagus,” imbuhnya.
Menurut Kepala Departemen Teknik Transportasi Laut, Fakultas Teknologi Kelautan, ITS Surabaya, Tri Achmadi, pemilihan dan pembangunan ibu kota negara yang baru, perlu mengedepankan aspek maritim sebagai masa depan bangsa.
Kesiapan pembangunan infrastruktur kelautan diyakini akan menunjang upaya pemerataan ekonomi Indonesia kedepan, khususnya kawasan luar Jawa seperti Papua, Sulawesi, Kalimantan, serta Nusa Tenggara barat dan Nusa Tenggara Timur.
“Jadi kalau mindah nanti lokasi ibukota pemerintahan yang baru itu, sekaligus bisa menggeret lokasi ekonomi di luar Jawa, nah itu yang penting karena selama ini semua kan terkonsentrasi ke Jawa. Nah jalannya, tanda kutip, yang harus dibangun untuk menghubungkan itu semua ya jalan laut, karena negara kita negara maritim. Nah di situlah pentingnya kita membangun pelabuhan, membangun kapal, dan membangun galangan kapal untuk perawatan dan pembuatan kapalnya itu, agar bisa menjamin proses pemindahan pusat ekonomi, sekaligus mendukung pusat pemerintahan yang lebih dekat dengan lokasi dimana pembangunan itu berada,” kata Tri Achmadi.
Your browser doesn’t support HTML5
Pakar Tata Kota dan Arsitektur ITS Surabaya, Johan Silas mengatakan, wacana pemilihan Kota Palangkaraya sebagai ibu kota negara yang baru tidak sesuai dengan misi Presiden Joko Widodo yang menghendaki laut sebagai masa depan pembangunan ekonomi bangsa. Keadaan wilayah di Kalimantan Timur yang lebih baik dan berada di garis tengah peta Indonesia, menjadi salah satu kawasan yang memiliki kedekatan dengan rekomendasi kriteria ibu kota versi ITS.
“Dari sisi pembangunan itu yang akan nanti mahal itu karena (Palangkaraya) lahan gambut. Tanahnya (Kaltim) kan sebagian besar alufial, agak padat. Jadi dari sisi biaya pembangunan akan beda banyak sekali. Itu hanya salah satu contoh, belum lagi ketersediaan prasarana, karena di pedalaman. Kaltim, bandaranya ada berapa, dan nanti pilihan-pilihan itu harus disitu sebenarnya,” ujar Johan.
Wilayah Kalimantan Timur yang jarang terjadi bencana dan konflik sosial, menjadi nilai positif sebagai salah satu alternatif calon ibu kota negara. Johan Silas mengatakan, penataan kawasan ini sebagai ibu kota negara pengganti Jakarta, akan lebih mudah dilakukan. Terutama luasan wilayah Kalimantan Timur yang masih sangat berpotensi untuk dikembangkan dan ditingkatkan.
“Ada beberapa (daerah) yang memenuhi, beberapa tempat salah satu yang menarik itu adalah Kalimantan Timur. Anda tahu penduduk Kalimantan Timur itu hampir sama dengan Surabaya, tapi luasnya 430 kali Surabaya. Dan itu kebetulan daerah yang dari sisi bencana itu paling kecil, entah itu bencana longsor, kebakaran hutan. Dan yang menarik juga bahwa daerah itu pluralistik. semua suku ada. Tapi sepanjang kalau kita lihat dari sisi kerusuhan, hampir tidak dengar kan di Kalimantan Timur,” tambahnya. [pr/al]