Sikap diskriminatif dan intoleran berdasarkan agama dan kepercayaan masih terus terjadi. Di Swedia, terjadi pembakaran Al-Qur'an, sementara di China terjadi upaya menghilangkan ciri dan karakteristik rumah ibadah tertentu. Pada umumnya semua hal itu terjadi karena ketidaktahuan atau memang keinginan menomorsatukan kepentingan kelompok mayoritas.
Untuk itu mulai hari Selasa (29/8) pemerintah Indonesia menggelar “Jakarta Plurilateral Dialogue” yang diharapkan menjadi praktik baik dalam menyampaikan budaya toleransi berbasis agama.
Berbicara dalam forum itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan ada tiga hal yang harus diupayakan untuk mempromosikan nilai-nilai toleransi berbasis agama. Pertama, menyeimbangkan hak “bebas berekspresi” dengan “bebas dari diskriminasi” karena menurutnya, bebas berekspresi tidak berarti bebas untuk melakukan tindakan diskriminasi dan melukai pihak lain.
Hal kedua yang harus segera dilakukan adalah membangun kerangkan hukum yang jelas dalam melawan diskriminasi berbasis agama, seperti lewat “International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang secara jelas meminta negara-negara melarang penyebaran kebencian terhadap agama. Dan ketiga, melakukan berbagai inovasi untuk melawan intoleransi, termasuk memanfaatkan teknologi dan informasi.
Diwawancarai VOA, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Siti Ruhaini Dzuhayatin mengatakan “Jakarta Plurilateral Dialoque” (JPD) menjadi semacam seruan moral kepada semua negara. Moderasi beragama dan penanggulangan praktik intoleransi lanjutnya menjadi pesan utama yang akan disampaikan dalam forum tersebut.
Menurutnya Indonesia berkomitmen kuat mengimplementasikan budaya toleransi ini, sekaligus mendorong setiap negara memandang United Nations Human Rights Council (UNHRC) Resolution 16/18 atau (Resolusi 16/18) sebagai sebuah kebutuhan yang dituangkan dalam forum internasional Jakarta Plurilateral Dialoque 2023.
BACA JUGA: Setara Institute: Jumlah Pelajar yang Intoleran Aktif Meningkat, 83% Nilai Pancasila Bisa DigantiResolusi ini merupakan resolusi untuk memerangi intoleransi, streotipe negatif, stigmatisasi, diskriminasi, hasutan terhadap kekerasan dan kekerasan terhadap orang berdasarkan agama atau kepercayaan.
"Agar kita memperingati 12 tahun resolusi (Resolusi Dewan HAM PBB Nomor 1618 tahun 2011) ini dengan menguatkan kembali komitmen kita untuk membudayakan toleransi dalam rangka mencegah sekaligus menangani semua tindakan yang bersifat intoleran, diskriminatif, dan kekerasan," katanya.
Dalam forum yang sama, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan setiap negara perlu memberikan perhatian serius karena jika dibiarkan maka sikap intoleransi berdasarkan agama hanya menghambat kemajuan negara, dan bahkan bisa berakhir pada perpecahan.
Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menilai forum tersebut juga mempunyai urgensi untuk meninjau kembali seberapa serius Indonesia menaati norma-norma yang sudah dimiliki.
"Forum-forum semacam ini mestinya menegaskan komitmen negara kita bahwa pluralitas mesti direspon dengan toleransi. Pluralitas itu harus memastikan negara memiliki sekaligus mengimpelemntasikan ketentuan konstitusional mengenai hak konstitusional warga atau hak asasi manusia," ujar Halili.
Your browser doesn’t support HTML5
Halili menjelaskan keberagaman di Indonesia memiliki dua lapis permasalahan, yakni di level negara dan warga negara atau masyarakat. Peroalan di level negara secara umum ada tiga isu kunci, yaitu kebijakan, penegakan hukum, dan kebhinnekaan Indonesia.
Di level warga negara, terdapat empat persoalan kunci, yakni literasi antar identitas agama yang masih minim, menguatnya konservatifisme, menguatnya segregasi di masyarakat, dan masyarakat makin koersif.
JPD 2023 diselenggarakan atas kolaborasi tiga kementerian dan lembaga yaitu Kantor Staf Presiden, Kementerian Agama dan Kementerian Luar Negeri. [fw/em]